Jumat, 18 Januari 2013

Dia Seorang T(a)NI

Supri, 40 tahun, setelah gagal jadi TNI, kini ia bertani

“KARENA pekerjaan yang lain nggak bisa,” jawabnya padaku tentang alasan kenapa memilih jadi petani. “Saya dulu pengennya jadi tentara, pernah mendaftar setelah lulus SMA, tapi gak masuk.”
Uniknya, sampai sekarang pun Supri tak tahu kenapa dulu pernah punya cita-cita demikian. “Gak tahu, pengen aja,” katanya, lagi. Adanya dukungan saudara sedikit-banyak juga turut memperngaruhi. “Udah daftarin sana,” ujar Supri menirukan suruhan saudaranya dengan tatapan jauh, seperti sedang mengenang cita-cita yang hilang.
Supri gagal di-tes ketiga pada pendaftaran pertama. Padahal, ia sudah “dititipkan” pada seorang perwira. Dengar-dengar uang “titipan”-nya kurang, kalah besar dengan pesaingnya. “Yang kedua karena umurnya udah lewat,”  ujarnya.
Nasib Supri tak semujur adik kandungnya, tapi aku lupa tak sempat menanyakan nama. Si adik kini jadi anggota TNI, berdinas di Malang, Jawa Timur. “Dulu dia masuk bintara, habisnya Rp 10juta,” kata Supri.
Aku tertegun, ternyata kebiasaan suap sudah ada sejak dulu. “Sepuluh juta, uang ‘sogokan’ yang sangat murah dalam kondisi kekinian, tapi, bisa dipastikan sangat mahal pada tahun 80’an. Sepuluh juta saat itu bisa jadi seratus juta untuk saat ini, bahkan lebih,” kataku dalam hati.
Setelah harapan jadi prajurit kandas, Supri mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan kontraktor di Jakarta: Duta Graha Indah. Ia bekerja dari tahun 1981 sampai 1996, kala ia masih bujangan. Di tahun 1997, Supri meminang Sutini, gadis yang ia kenal di perantauan.
Setelah Duta Graha Indah hampir bangkrut, ia memutuskan untuk resign, lalu membawa Sutini pulang ke kampung halaman. Inilah awal mula Supri dan Sutini memulai kehidupan baru.
*
Sore tadi, mesin Jepang membawaku melintasi desa Ngipik Sari, Kaliurang. Jalannya berkelok dan menanjak, pohon tinggi-besar membuat desa ini teduh. Di kanan-kiri, banyak penginapan kecil yang menyewakan kamar, tak aneh jika papan nama bergantungan dimana-mana.
Di penghujung desa, aspal hitam berubah jadi batu yang tertata, bau kotoran sapi samar-samar mulai terasa, tapi sayang kicauan burung liar nyaris tiada.
Di batas jalan itulah ladang Supri berada, ku lihat ia hampir tenggelam di antara riuhnya ilalang, ia sedang memancang—menancapkan potongan bambu—di sebidang tanah yang sudah ia beri tanda seutas tali raffia. Supri hendak mempersiapkan media untuk menanam Sengon.
Aku tertarik untuk berbicara dengannya, dan ia menyetujui ajakanku. Kami mulai berjabat tangan, bertukar sapa lalu mengenalkan nama. Itulah awal mulanya aku tahu ia petani yang pernah punya impian jadi tentara.
Sembari beristirahat di samping ladang, memandangi lahan garapan yang hampir tak begitu luas, Supri meratapi dua kegagalannya jadi tentara. Padahal beberapa saat tadi, kelesuan senja sehabis hujan tak sedikit pun menyurutkan niatnya untuk tetap mengolah lahan. Kedatanganku membuatnya mengenang masa pahit itu lagi.
Kepalanya oval, bibir tebal, dan perawakan tak terlalu kekar, senyum lebar serta aksen Jawa yang sangat kental. Supri memakai topi hitam, selaras dengan kulitnya. Baju dan celana berwarna putih, kali ini sangat kontras dengan warna tubuhnya. Fisiknya sangat petani, bukan tentara, karena tak ada sedikit pun tersirat bodi pasukan.
Sampai sekarang, ia masih mendambakan jadi seorang pegawai. Alasannya simpel, hasil dari apa yang ia kerjakan sebagai petani, belum cukup untuk membiayai hidup keluarga. “Sebenarnya kurang, tapi karena adanya ini, ya dicukup-cukupkan,” kata Supri. Ia satu-satunya tulang punggung keluarga, istrinya hanya seorang ibu rumah tangga, yang kadang kala juga ikut bekerja di ladang.
*
Menjadi petani memang bukan perkara mudah, apalagi di Indonesia. Seorang petani harus berkutat dengan berbagai permasalahan. Dari majalah Keadilan edisi I/XXXVII/2012, ada sebuah fakta yang menunjukkan bahwa saat ini arah kebijakan pemerintah tak melindungi Supri dan kaum senasibnya. Kesejahteraan petani terabaikan, mereka tak berdaya menghadapi permainan pemodal.
Henry Saragih, ketua Serikat Petani Indonesia juga mengatakan bahwa pemerintah memang memperhatikan petani, tapi dengan cara pikir lain. Yang diperhatikan bukan petani-petani kecil seperti Supri, tapi justru perusahaan-perusahaan besar.
 “Akankah suatu saat nanti petani Indonesia hanya akan menjadi legenda bagi anak dan cucu kita?” dosen hukum Agraria-ku pernah bertanya seperti itu, dan sampai aku belum bisa menjawabnya. Tapi jika kebijakan masih tak berpihak pada petani, cepat atau lambat, kata-kata di atas akan terjawab dengan sendirinya.
Menurut Ahmad Yak’ub, Ketua Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia, dalam artikelnya berjudul Reforma Agraria, menjelaskan bahwa, ketidakadilan mengacu pada suatu kondisi dimana kekayaan agraria telah terkonsentrasi pada segelintir pihak saja.
Sayang, Supri tak termasuk dari segelintir pihak tersebut. Jangankan untuk untung, untuk balik modal saja ia sudah ngos-ngosan. Ia butuh banyak uang untuk sejahtera.Ya uang, barang satu itu memang sakti: walaupun uang bukan segala-galanya, tapi tanpa uang Supri tak mampu berbuat apa-apa. Namun Supri sadar, jika suatu saat nanti sungai tak lagi mengalir, ikan juga takkan lagi berenang dengan riang. Jika semua hutan telah habis, ekosistemnya hilang. Manusia baru akan sadar jika uang tak bisa dimakan.
*
Supri mengakui dengan jujur bahwa ia tak menyukai pekerjaannya, namun keadaan dan tanggungjawab sebagai Ayah, mengharuskan Supri istikomah. “Sebetulnya saya juga nggak suka, karena jadi petani itu sulit. Hasilnya nggak tentu, tapi karena keadaan, kita punya anak, ya harus biayain anak,” keluh Supri.
Si sulung: Ana. Sudah menginjak kelas 2 SMA, Supri mengatakan bahwa Ana bercita-cita menjadi perawat. Sedang Yoda, anak kedua, tahun ajaran baru nanti akan masuk SMP. Putri, kakak si bungsu, baru kelas 3 SD, sementara Angga, putra paling poncot, belum sekolah.
Begitu berat beban yang harus dipikul Supri. Di satu sisi Supri bingung, jangankan untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi, untuk biaya sehari-hari saja ia kewalahan. Di sisi yang lain, ia ingin anak-anaknya tetap sekolah agar nasibnya tak seperti sang Ayah.
Supri paham, ia harus tetap mensyukuri apapun yang terjadi. Ia cukup tahu diri untuk menghapus cita-citanya sebagai tentara di masa remaja. Kini, walaupun sebagai petani, ia harus mampu membawa keluarganya ke arah yang lebih baik.
Bagi Supri, petani sulit sejahtera, anaknya harus jadi pegawai. “Kalau bisa ya harus jadi pegawai semua, nggak mungkin anak disekolahin nanti cuma disuruh nyangkul di sawah,” katanya penuh harap.
Aku galau mendengar kata-katanya barusan. Jika petani saja berharap demikian, maka pertanyaan dosen Agraria-ku di atas tadi sudah terjawab: petani benar-benar akan jadi legenda bagi anak dan cucu kita nanti, petani tak sejahtera.
“Kalau bisa  (kehidupan) saya harus lebih baik dari sekarang,” harap Supri.
Ia Supri petani, bukan Supri TNI. Ia tinggal di dusun Ngipik Sari, RT 02/XII, Hargo Binangun, Pakem, Sleman, bukan penghuni tangsi atau asrama TNI. Senjata di tangan Supri bukan SS-1, SS-2 atau AK-47, melainkan cangkul, sabit, caping dan semangat yang terus berkobar di dalam dada. Supri juga sedang berperang, ia berperang dengan keadaan dan harus berdamai ketika waktunya datang. (*)

3 komentar:

  1. Halo dek bobby. Wes suwe ora komen-komenan via blog iki. Apik dek. Cemungudh yo nulis e. Salam nggo pak supri. :D

    BalasHapus
  2. Hahaha, suhu lebih apik mesti nulise. Cemungudh terus pokoke.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus