Bisa
jadi tabiat, bisa juga siasat
“Sorry, Bro. Aku telat,” kata yang sering terucap ketika terlambat.
Dalam segi apapun, keterlambatan mulai jadi hal yang lumrah. Semua bisa jadi
korban, tapi tak menutup kemungkinan, semua juga bisa jadi pelaku keterlambatan.
Awas, kawan! Virus terlambat bisa menyerang otak kita tepat pada waktunya, atau
justru lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Yang jelas, virus itu takkan
datang telat meskipun namanya virus terlambat.
Bukannya ingin menyalahkan,
tapi semua keterlambatan berpangkal dari waktu. Waktu memang hebat, bisa jadi
patokan setiap umat. Secara tidak sadar, kita tunduk padanya. Sesuatu yang tak
bisa terulangi lagi, namun kenapa musti ada kata telat jika memang waktu hanya
datang sekali? Jangan jawab tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena dangdut
sedang tidak diputar.
Bayangkan jika tak ada
waktu—lebih-lebih waktu yang telah dipastikan—keterlambatan pasti takkan
datang. Namun, pantaskah kita salahkan waktu? Yang kehadirannya justru lebih
memberikan kepastian. Coba renungkan, bagaimana kita bisa merayakan tahun baru
jika tiada waktu? Lalu bisakah kita menentukan kapan puasa dan kapan lebaran
jika waktu tak hadir membantu.
Bandung Bondowoso pernah kalah
oleh waktu, ia diberi waktu semalam untuk membuat seribu candi, sebagai syarat
mempersunting Roro Jonggrang. Namun melihat kecurangan Bandung
Bondowoso—meminta bantuan mahkluk halus—Roro Jonggrang pun tak habis akal, ia
bersama para koleganya membuat siasat seolah-olah pagi sudah datang menjelang.
Bandung Bondowoso telat, ia pun gagal dalam misinya membuat seribu candi.
Ternyata, waktu bisa dikelabuhi. Namun sejauhmana kita bisa mengelabuhi waktu? Dengan
siasat seperti Roro Jonggrang? Jangan salah, ia berbuat demikian karena Bandung
Bondowoso curang, selalu ada api ketika ada asap, tak mungkin tidak.
Meskipun bisa dikelabuhi, tapi
apakah kita bisa merubah waktu? Ia akan tetap bergulir, tanpa perlu kita
percepat atau perlambat. Lalu siapa yang harus disalahkan ketika kita terlambat
karena waktu? Masihkah sang waktu jadi pesakitan? Sungguh, ia teramat kasihan.
Telat beserta alasannya
bagaikan lokomotif dengan dua belas gerbong—rangkaian maksimal kereta api. Bukan
rahasia lagi jika tak seluruh gerbong diisi oleh penumpang bertiket, sebut saja
penumpang gelap. Juga dengan telat, tak seluruhnya diikuti alasan yang logis
dan bertanggung jawab, ada juga alasan yang dibuat-buat bak penumpang gelap
tanpa tiket.
Telat adalah lokomotif, alasan
logis dan bertanggungjawab adalah penumpang bertiket, sementara alasan dibuat-buat
karena kemalesan adalah penumpang gelap yang harus diturunkan di stasiun
berikutnya. Ketidakhadiran adalah mereka yang datang setelah kereta
diberangkatkan, benar-benar ditinggal. Jangan sampai kita diturunkan di stasiun
yang bukan menjadi tujuan.
Sampai kapan kita akan selalu
terlambat? Jangan lagi kau tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena selain
dangdut tak sedang diputar, ia juga sedang menikmati air hujan ketika kemarau
sudah datang, sebuah kelangkaan, jangan ganggu sang rumput karena keterlambatan.
Apalagi mencarikambing hitam, karena mereka telah membeli pemutih, baik krim
m’alam atau krim siang.
Telat itu bukan siapa-siapa,
bukan kamu, kalian, atau mereka. Telat itu aku, yang selalu telat untuk mengerti
keterlambatan itu sendiri. Benar-benar telat, atau cuma dibuat-buat; kita
pelaku kita yang tahu.
Jangan biarkan tubuhmu membiru
tragis karena telat, hingga menjadikan kau dan aku menuju ruang hampa.
Keterlambatan ini, suatu saat nanati akan membentuk sebuah mosi tidak percaya
di kamar gelap. Satu pesanku, jangan bakar buku agar tak banyak asap di sana.
Sampai kapan telat akan membuat hidup bagai sebuah ballerina, telat juga akan
membuatmu abnormal. (Bobby A. Andrean)
keren om bob ... :D
BalasHapusharus belajar banyak nih, mampir om www.irkhamzamzuri.blogspot.com
saran + kritik , yang dituju.
keep writing !!!
Sorry baru bales, Pes. Baru buka blog lagi, hehehe. Terima kasih, tapi itu terlalu berlebihan. Okey, aku mampir ke alamat itu.
BalasHapus