Pemilihan
umum capres dan cawapres tinggal menghitung hari, namun kedua kandidat belum
berhenti berebut hati melalui televisi. Keduanya tak segan-segan untuk
mencekoki masyarakat melalui frekuensi udara yang nyaris tak terkendali. Framing
media bisa diatur sedemikian rupa, mengunggulkan yang satu dan menjatuhkan
satunya.
Peringatan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak pernah dihiraukan. Sudah bukan rahasia
lagi jika TV Merah lebih condong ke nomor satu, sering menyudutkan nomor dua. Sedangkan
Biru TV lebih cenderung memihak nomor dua, jarang menampilkan berita tentang
nomor satu. Pemilik kedua media tersebut sama-sama ketua partai politik, dengan
pandangan politik (yang setidaknya dalam pilpres kali ini) berbeda. Bukan hanya
perang dua televisi, media mainstream lainnya bahkan media bodong pun juga
turut ambil bagian menyebar propaganda.
Masyarakat
(setidak-tidaknya saya) dibuat jengkel, emosi, dan muak terhadap pemberitaan
yang sudah mengesampingkan kaidah-kaidah jurnalistik. Media massa yang
seharusnya memberi informasi untuk mencerdaskan masyarakat, kini berubah jadi sarana
cuci otak. Mirisnya, frekuensi publik yang seyogyanya digunakan untuk
kepentingan publik, justru dipolitisir sesuai kemauan dan kepentingan pemilik
media.
Demokrasi dan kebebasan pers akan terancam
secara laten ketika pemberitaan yang tidak berimbang seperti sebulan terakhir
ini dianggap biasa oleh masyarakat, pemilik media akan semakin menjadi-jadi
menyetir arah pemberitaan medianya. Kehadiran pers yang digadang-gadang memberikan
keseimbangan dalam iklim demokrasi, karena dewasa ini pers menjadi pilar
keempat dalam sistem demokrasi, pilar yang tidak tercantum dalam Trias Politica milik Montesquieu
(1689-1755). Edmund Burke (1729-1797), negarawan Inggris, orang pertama yang
menyatakan bahwa pers menjadi pilar keempat demokrasi.
Mengutip
pernyataan Mahfud MD dalam konten Antara News, ketika diskusi dengan Persatuan
Wartawan Indonesia di Pekanbaru, Desember tahun 2012 lalu, ia pernah mengatakan
bahwa peran pers sebagai pilar ke empat demokrasi dapat memberikan tekanan
positif terhadap kebijakan pemerintah. Walaupun berada di luar sistem politik
formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa,
pendidikan kepada publik sekaligus menjadi kontrol sosial.
Sembilan Elemen Jurnalisme
Pasal
6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menginstruksikan bahwa pers
nasional mempunyai peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar
demokrasi; mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta
menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang
tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Dari kutipan undang-undang di atas, dapat ditarik
garis besar jika pemelintiran berita untuk kepentingan pemilik media atau
golongan merupakan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang antara lain
hak masyarakat untuk tahu dan kepentingan umum.
Bill
Kovach (Wartawan senior, yang pernah menugaskan
dan menyunting lima laporan yang mendapatkan penghargaan bergengsi dalam
jurnalisme Amerika: Pulitzer Prize) dan Tom Rosenstiel (Committe of Corcerned
Journalist, sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset
dan diskusi tentang media) dalam
bukunya berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme merumuskan bahwa kewajiban utama
jurnalisme adalah pada kebenaran. Dalam hal ini kebenaran yang dimaksud adalah
kebenaran fungsional, bukan kebenaran filosofis yang penuh dengan perdebatan.
Artinya, dalam jurnalisme kebenaran selalu dibentuk sedikit demi sedikit,
bahkan tak jarang sering direvisi atau diperbaiki.
Bill
Kovach sendiri mengatakan bahwa kebenaran adalah sebuah konsep yang paling
membingungkan dalam dunia jurnalisme. Karena kebenaran dalam ranah pers tidak
bisa dipisahkan dari padangan wartawan yang meliput lalu menuliskan atau
menayangkannya sebagai berita. Pandangan tersebut terbentuk karena berbagai
faktor seperti latar belakang sosial, pendidikan, suku, agama, bahkan pandangan
politik wartawan dan dapur redaksinya.
Jika
merujuk pada elemen pertama tersebut, rasa-rasanya kedua televisi “pendukung”
kedua kandidat yang berseberangan itu sangat menyimpang dari nilai-nilai
jurnalisme. Bahkan ada media bodong, baik cetak maupun elektronik, melempar
fitnah berbau propaganda. Dalam hal ini, kerugian sepenuhnya ada di kalangan
masyarakat, bukan tim sukses kedua kandidat yang memang gemar saling sikut dan
sikat. Mengingat elemen kedua jurnalisme: loyalitas utama jurnalisme adalah
pada warga negara.
Dalam
menyajikan berita, seorang wartawan harus memposisikan masyarakat sebagai
subjek. Berita yang disajikan ditujukkan untuk mencerdaskan masyarakat, dan
membiarkan masyarakat mengambil kesimpulan sendiri secara berdaulat. Bukan
objek untuk melenggangkan kepentingan pemilik media melalui black campaign, negatif campaign, positif
campaign secara tidak proporsional.
Media
yang dengan sengaja menyalahgunakan tujuan loyalitasnya merupakan panu dalam
kulit demokrasi. Terlebih, (meloncat ke elemen delapan) elemen ke delapan
jurnalisme mengharuskan media membuat berita yang komperehensif dan
proporsional, bukan berat sebelah.
Esensi
jurnalisme adalah disiplin verifikasi, elemen ketiga jurnalisme. Sudah sejauh
mana media memverifikasi sebuah isu yang menyatakan salah satu kandidat merupakan
bagian dari dosa masa lalu atau salah satunya lagi didakwa komunis secara
sepihak? Ujung-ujungnya masyarakat menjadi korban tidak terima, lalu melawan
tidak secara intelektual, lebih-lebih konstitusional. Seperti penyerangan
kepada kantor pusat dan kantor biro TV Merah beberapa waktu lalu. Pers yang
salah menyebabkan masyarakat terbelah, marah, dan kalap. Padahal mekanisme
keberatan terhadap pemberitaan sudah diatur dalam undang-undang, yakni melalui
hak jawab.
Elemen
keempat jurnalisme mengisyaratkan bahwa jurnalisme harus independen dari pihak
yang mereka liput. Independen artinya bebas dari desakan manapun, tanpa
dikendalikan pihak atau golongan siapa pun. Independensi tidak sama dengan netralitas.
Contohnya jurnalis yang menulis opini atau tajuk rencana bersikap tidak netral,
tapi ia harus independen dalam ketidaknetralan tersebut. Wartawan pun boleh
berpihak, berpihak pada kebenaran, kredibilitasnya terletak pada dedikasi pada
akurasi, verifikasi, kepentingan kepada publik, dan hasrat untuk memberi
informasi secara berimbang.
Bahkan dengan sinis McNair Brian (1995) pernah
mengatakan, “Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan kelompok
akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi
subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya
sendiri untuk disebarkan kepada khalayak”. Ini realita tentang
media di Indonesia pasca reformasi. Kekuatan ekonomi dan kepentingan politik
pemilik modal sangat mereduksi independensi media.
Jika
sampai akhirnya nanti, entah nomor satu atau dua yang terpilih. Tapi
pemberitaan masih seperti sekarang ini, bisa diprediksi salah satu dari kedua media
tivi akan menjadi corong penguasa. Padahal dalam elemen kelima jurnalisme, pers
harus menjadikan dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Artinya
kedekatan antara penguasa dengan pemilik media yang saling berkepentingan bisa
berpeluang menjadi lubang di gigi demokrasi.
Jurnalisme
pun harus menyediakan forum kritik dan komentar dari publik, elemen keenam
jurnalisme. Agar jurnalisme bukan hanya berperan sebagai penyalur informasi
satu arah, mengingat masyarakat adalah subjek.
Elemen ketujuh mengamanahkan agar media membuat berita menarik tapi
relevan. Bukan sensasionalitas yang memojokkan salah satu kandidat tanpa
konfirmasi, tidak cover both side.
Pada
tingkat ini, Bill Kovach dan Tom Rosential buku berjudul BLUR mengatakan bahwa
jurnalisme harus berubah dari sekedar menggurui—mengatakan publik apa yang ia
perlu tahu—menjadi dialog publik, dengan wartawan menginformasikan dan
memfasilitasi diskusi. Ide pentingnya adalah: pers ke depan akan memperoleh
integritas berdasarkan jenis konten yang disampaikan dan kualitas pekerjaan,
bukan dari fungsi eksklusifnya sebagai penyedia informasi tunggal atau
perantara antara sumber berita dengan publik.
Pemilik
media juga harus menghormati betul suara nurani setiap wartawan, karena sesuai
dengan elemen ke sembilan jurnalisme, setiap wartawan mempunyai kewajiban
pribadi untuk menyuarakan hati nurani sekuat-kuatnya. Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel akhirnya menambahkan elemen ke sepuluh, tentang hak dan
tanggungjawab warga dalam hal-hal yang berkaitan dengan berita. Karena di era
tekhnologi informasi, masyarakat bukan hanya sekedar penikmat, tapi juga bisa
menjadi bagian dari penyaji informasi melalui koneksi internet dengan berbagai
media sosial.
Literasi Media
Sudah
saatnya masyarakat belajar untuk melek
media. Dari sepuluh elemen yang sudah dikupas secara singkat di atas, ada
beberapa elemen yang bisa kita manfaatkan untuk menganalisa, menilai, dan
memilih media yang telah menerapkan kaidah-kaidah jurnalistik secara benar
untuk kita jadikan referensi. Pun kita mempunyai hak untuk menyampaikan kritik
terhadap media yang sudah benar-benar menyalahgunakan kebebasan pers.
Sikap
skeptis (meragukan) informasi dari media mutlak diperlukan sebagai modal awal
agar masyarakat tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang sengaja diciptakan
untuk membutakan kesadaran logika. Alangkah indahnya jika cita-cita untuk
menjadikan pers sebagai pilar keempat demokrasi juga diaplikasikan sebagaimana
mestinya dalam kehidupan bernegara, tidak hanya sebatas retorika di
bangku-bangku kuliah dan di forum-forum diskusi semata.
Sesungguhnya
apakah demokrasi benar-benar tidak tepat untuk Indonesia? Atau demokrasi sedang
dijalankan oleh orang yang salah: intelektual bebal pemburu kekuasaan? Mari
kita renungkan bersama-sama. Tabik.
*) Tulisan ini dimuat di rubrik Gagasan dalam Harian Solopos tanggal 8 Juli 2014.
Baca Selengkapnya...