Jumat, 01 Oktober 2010

Egois Senja Menjelang Petang di Kampus Perjuangan

            Rintikan air samar-samar terdengar tak jauh dari tempatku berpijak. Semakin lama, semakin keras dan kasar ritmenya. Sepertinya hujan ingin menyegarkan daratan yang dilanda dehidrasi, atau hanya sekedar menghilangkan debu untuk siang yang terik tadi. Hujan telah membuat semua aktivitas seakan berhenti dalam sesaat, tiada yang lebih hangat ketika kita berada di sebuah ruangan. Sebelum semua terjadi seperti yang tidak diinginkan, secepat-kilat Aku mengambil buku dan secarik kertas untuk catatan kuliah sore ini. Bergegas ku duduki jok sepeda motor yang siap meluncur menuju kampus megah, walau dengan nafas sedikit terengah-engah Aku tak boleh lengah.

            Tak ku sangka setibanya di kampus ternyata sang pengajar (dosen) sudah hadir di kelas, padahal biasanya Beliau terlambat. Aku mengetuk pintu lalu masuk kelas yang telaah terisi oleh beberapa mahasiswa, Aku urung menutup pintu karena ada seorang teman yang membuntuti langkahku. Kami berdua diberi tugas untuk menjelaskan beberapa istilah mata kuliah akibat dari keterlambatan kami, sejenak Aku berpikir jika kami berdualah yang paling terlambat masuk di kelas ini. Tapi dugaanku salah, ternyata banyak mahasiswa yang terlambat lebih dari kami.

            Bahkan setelah lebih dari 40 menit, muncul seorang mahasiswa dengan perawakan tinggi, kurus, dan berkacamata sedikit tebal, serta berkawat gigi, meminta izin untuk mengikuti kuliah sore itu. Sang dosen yang sudah dilanda emosi sejak awal meminta pada mahasiswa itu untuk menutup pintu dari luar, mahasiswa menolak dan merengek untuk tetap kuliah dengan alibi Ia kehujanan dijalan. Kemudian dosen memberikan sebuah persyaratan, Ia boleh masuk dan mengikuti kuliah tapi tak diperbolehkan mengisi tanda tangan presensi. Setidaknya keputusan dosen sangat bijak, tak membatasi mahasiswanya untuk kehilangan sepercik ilmu-pun. Anehnya, mahasiswa itu memilih untuk keluar dari kelas kemudian meninggalkan kami, setelah mengetahui tak diizinkan melakukan presensi. Tanpa memikirkan mahasiswa yang terlambat itu, dosen kembali melanjutkan kewajibannya untuk mentransfer ilmu pada anak didiknya.

            Setelah dirasa waktu sudah tak lagi bersahabat, akhirnya kuliah yang aneh ini diakhiri bersama. Aku terkejut melihat mahasiswa yang terlambat tadi masih berada di luar kelas hendak menemui dosen di dalam kelas, ternyata benar seperti dugaanku jika mahasiswa itu tetap ngotot untuk tetap ingin menandatangani presensinya? Padahal kewajibannya tak Ia penuhi, tetapi hak tetap digrogoti. Dengan realita seperti ini tidak begitu aneh jika kualitas pendidikan terus menyusut seiring berkembangnya pemikiran yang oportunistis dari seorang yang terpelajar, sebagian dari kami lebih mementingkan tanda tangan presensi daripada ilmu. Hanya mementingkan sebuah gelar formal sarjana lengkap plus penghalalan segala cara untuk sebuah jalan menuju masa depan, seperti itukah wajah bangsa Indonesia?  Sepertinya ini penyakit hati di era globalisasi. Nuwun Sedulur.

2 komentar:

  1. Dosenne sopo bob? Wah kebangetan mahasiswane kui, hadeh-hadeh.. ojo ditiru bob.hahaha...

    BalasHapus
  2. Setubuh Ndan.., setuju maksude. Of the record.

    BalasHapus