Sabtu, 30 Oktober 2010

Perlawanan dari Selatan

Perjalanan setelah malam tadi, sebatas mengintari gegap-gembitanya suasana Jogja.
Seorang Ibu mengantarkan anaknya berangkat ke sekolah melalui jalanan yang penuh abu vulkanik pasca letusan semalam (30/11), penggunaan masker pada keduanya sangat melindungi Ibu dan anak ini dari gangguan pernapasan.

          
          Sorosutan-Dapos. Ketika itu, hari telah berganti menjadi Sabtu. Sempat terlihat pada jam analog yang ada di telepon genggam sudah menunjukkan pukul 00.45 WIB. Aku bersama lima orang temanku, yakni: Bom-bom, Oki, Kethek, Andi, dan Yeyen masih terlena dalam percakapan ringan yang disertai banyak hinaan. Seorang dari kami mengajak untuk menikmati sebuah hidangan malam di sudut kota Jogja, karena Ia merasakan lapar pada perut kecilnya. Kami bergegas dengan sepeda motor masing-masing meluncur ke lengangnya jalanan kota Jogja, laju motor kami terhenti di warung nasi koyor Bu Parman yang terkenal sejak tahun 1968. Setelah selesai  menikmati santap malam, kami bersantai sejenak dan kemudian meninggalkan warung tersebut setelah menyelesaikan proses administrasi.
            Kami kembali di pekubuan, tetapi salah satu dari kami memutuskan untuk tidur dengan alibi matanya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Akhirnya praktis hanya tersisa kami berlima, canda dan tawa selalu menghiasi hinaan demi hinaan. Entah mengapa angin begitu syahdunya bertiup mendayu-dayu dari arah utara menuju selatan, tak ayal rasa dingin menyelimuti kulit kami. Seorang dari kami memekik saat  membuka sebuah situs jejaring sosial, Ia mengatakan jika telah terjadi hujan abu vulkanik di sisi utara menuju selatan, hingga telah mencapai Jalan Kaliurang (Jakal) kilometer 1.
            Dengan semangat petualang yang besatu dengan naluri jurnalistik kami berlima seketika itu juga segera menancapkan gas motor menuju ke Jakal, singgah sejenak di sebuah apotek untuk membeli masker. Sesampainya di Jakal, abu vulkanik sudah mampu menyelimuti semua badan jalan dan apapun juga yang tak tertutup. Petualangan kami sempat terhenti di kilometer 6, di ring road utara tepatnya. Seorang Polisi melarang kami untuk tetap melaju, akhirnya kami berhenti beberapa menit untuk mensiasati sesuatu agar tetap melaju ke utara.
            Kami berhasil melalui blockade Polisi tersebut dengan sedikit kelihaian mencari jalur tikus (jalur kecil, biasanya berupa gang), setelah berhasil meloloskan diri dari Polisi yang sibuk mengatur kacaunya lalu lintas di perempatan Kentungan itu, kami kembali melaju tanpa hambatan menuju utara tanpa tujuan.
            Abu vulkanik yang membumbung tinggi karena lalu-lalang kendaraan mulai menganggu pandangan kami, sementara seperti apa kabarnya Merapi tak kami ketahui. Jarak pandang tak lebih dari 100 meter, itupun harus menggunakan bantuan lampu motor. Karena kami rasa sudah tak memungkinkan lagi untuk terus melaju, akhirnya kami sepakati untuk kembali dan melihat riuhnya suasana kota akan pengungsi. Tetapi alun-alun utara yang awalnya ramai dengan pengungsi, kini mulai ditinggalkan oleh para pengungsi tempat itu. Akhirnya terpaksa kami kembali ke pekubuan sembari membagi masker pada para pedagang yang hendak mengadu nasib di peraduan. Sosial dikala fajar menyingsing, menandai adanya sisi lain dari kegilaan kami.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar