Minggu, 13 Februari 2011

Nama Ayahku jadi Nama Panggilanku

            Simon. Mereka sering memanggilku dengan nama itu, tak kenal kampus ataupun jalanan, entah itu kawan kuliah ataupun kawan sekolah dahulu. Sudah sejak duduk di sekolah menegah pertama aku disapa demikian. Awalnya memang tak terima saat pertama kali mereka memanggil aku dengan nama itu. Bagaimana tidak? Itu nama ayahku.

            Upz. Aku masih ingat betul ketika sekolah menengah pertama dulu, jika tak salah waktu itu saat sedang berlangsung kegiatan ekstrakulikuler Pramuka. Kegiatan rutin setiap Jum’at sore. Seseorang dengan perawakan kurus, sepertinya hanya tersisa tulang dibalik kulitnya yang hitam. Tanpa daging, andai-pun ada dagingnya mungkin tidak banyak. Rambut lurus belahan tengah yang dimilikinya selaras dengan bentuk wajahnya yang bulat sedikit oval. Yosef Atmaja namanya, dengan catatan jika nama itu belum diganti. “ Omahmu mbi omahe Simon ngendine (rumahmu dengan rumahnya Simon mananya)?”, teriak Yosef tiba-tiba. Pada saat itu juga ku jawab dengan lirih bahwa kami tinggal serumah, karena beliau ayahku. Tak tahu dari siapa ia mendapatkan nama ayahku, tapi yang jelas setelah mendengar jawabanku kemudian ia mengejek dan memanggilku dengan nama ayahku. Aku memperingatkannya, tapi semakin ditanggapi, perkataannya justru semakin menjadi-jadi. Setelah kejadian itu, hampir semua temanku seangkatan memanggilku dengan nama ayahku.

            Masa-masa itu memang sedang ngetrendnya lelucon panggilan nama ayah. Aku sempat tersinggung, tapi lama-kelamaan aku jadi terbiasa dengan sapaan baru itu. Karena bukan hanya aku, hampir semua teman seangkatan juga mengalami hal yang sama denganku. Semenjak lulus dari tingkat menengah pertama, kulanjutkan sekolahku menuju tingkat menengah atas. Mungkin karena masih berada dalam satu kota yang sama, tak ayal teman seangkatan-pun juga masih banyak yang sama. Mudah untuk ditebak, jadi nama ayah yang telah melekat dalam diriku itu tak dapat ditawar lagi, namun setidaknya aku mulai nyaman dengan panggilan itu. Ya nyaman, karena aku mulai menyadari arti penting dari seorang ayah dalam keluargaku.

            Perjuangan ayah selalu membuat aku takjub, membuatku merasa sangat kecil dihadapannya. Seakan aku tak berarti dan tak punya arti, dibandingkan dengan semangatnya dalam berkarya. Perasan keringatnya hanya untuk membahagiakan ibu, aku, dan adikku. Aku kan selalu berdoa, semoga kita semua diberikan umur panjang. Dan selamanya kita bersama, dalam suka maupun duka. Aku percaya, ucapan adalah doa. Ayah, jangan pernah lelah untuk membimbing kami menuju sesuatu yang mulia.

            Kurang-lebih tujuh tahun sudah petama kali namamu menjadi panggilan bagiku, sampai aku menginjak pada perguruan tinggi namamu tetap melekat dalam diriku. Kini aku bangga dengan nama itu, nama ayahku, lelaki kebanggaanku. Mulai dari sekarang, jangan pernah menciutkan hatimu jika orang lain memanggilmu dengan nama ayahmu. Karena tanpa nafkah seorang ayah, ibu cukup kesulitan merawat kalian semua. Sejauh semua baik, semuanya akan baik-baik saja.

2 komentar: