Selasa, 22 Februari 2011

Pengamen Berjilbab Merah itu Seorang Guru

          Angkringan depan kampus menjadi tujuan kami setelah sedikit perdebatan di dalam ruangan tadi. Seperti biasa, segelas es coffemix aku pesan. Dengan sengaja tanganku bergerak cepat mengambil sepotong mendoan, tempe berjaket tepung. Seketika mendoan itu telah habis sebelum es coffemix selesai dibuat, habisnya-pun secepat aku mengambil dari tempatnya tadi.

          Setelah sejenak menunggu, pesanan itu datang juga. Dengan bantuan sedotan limun akhirnya minuman berwarna coklat muda itu meluncur deras menuju kerongkonganku. Karena tak terlalu menahan dahaga, rasa-rasanya enggan untuk menghabiskan segelas es coffemix itu.

Ilustrasi
          Aku arahkan pandangan kosong menuju riuhnya jalanan depan kampus. Jl. Taman Siswa dengan nomor 158 sore ini nampak megah, semoga saja isinya semegah bangunannya. Dalam lamunanku terdengar suara tamborin dengan nyanyian yang tak begitu jelas, sempat aku mengira itu hanya halusinasi semata. Setelah tersadar dari lamunan, ternyata memang ada seorang ibu melantunkan sebuah lagu lengkap dengan tamborin seperti lamunanku tadi.

          “Astaga. Ibu itu seorang pengamen?” batinku dengan sedikit keraguan dan penuh tanda tanya. Aku mesangsikan profesinya, karena jika sekilas melihat dari penampilan, jelas ia seorang terpelajar. Pakaian yang dipakai serba bersih. Jauh dari unsur pengamen, apalagi pengemis. “Saya guru dari Tulungagung mas, kalau ndak terpaksa juga ndak begini,” kurang lebih begitu ucapnya setelah bernyanyi di depan kami.

          Aigh, ibu pengamen berjilbab merah itu seorang guru. Lebih jelas lagi saat bercakap-cakap dengan salah seorang temanku, saling sapa tepatnya, yang kebetulan pernah berbincang-bincang di alun-alun utara beberapa waktu yang lalu. Setelah si ibu pergi, aku mencoba menggali informasi dari temanku. Tapi sayang, temanku juga tak terlalu ingat keseluruhan perbincangannya dulu. Yang teringat oleh temanku hanyalah ibu yang sudah tak bisa dikatakan muda lagi itu berasal dari Tulungagung. Entah karena ditipu atau apa, yang jelas ia seorang guru, atau mantan guru. Aku tak dapat banyak informasi malam itu. Mungkin jika suatu saat nanti bertemu lagi, akan ku kabarkan berita pada semua lengkap dengan informasinya.

          Sayang, aku juga tak sempat menanyakan namanya. Tapi inilah realita yang terjadi di Negeri kita, yang mereka bilang negeri besar karena menghargai jasa pahlawannya. Eitz, apakah kata “menghargai” itu ditujukan kepada pahlawan yang bertanda jasa saja? Yang kabarnya oknum-oknumnya sering melanggar hak-hak manusia itu. Sedangkan yang tak bertanda jasa diacuhkan, miris sekali jika prasangka ini benar. Umie Bakrie oh Umie Bakrie.          

7 komentar:

  1. Manteblah! Coba kowe bikin feature human interest tentang Umie Bakrie. Sepertinya seru thu bob. Keep Writing wae lah. :)

    BalasHapus
  2. Terima kasih Yog. Selalu saya harapkan kritik dan sarannya.

    BalasHapus
  3. menarik gaya ceritamu bob...pendapatku dalam pemilihan kata diteliti lagi biar lebih efektif. ^_^

    BalasHapus
  4. Makasih Mz Zendi. Kalau boleh berpledoi ini karena nulisnya terburu-buru? Jadinya begini, hehe. Makasih banget Mz, selalu saya harapkan kritik dan sarannya.

    BalasHapus
  5. Menarik bob tulisannya...
    coba ada fotonya pasti lebih menarik.. hehe

    BalasHapus
  6. Makasih Ndra. Pledoiku,sayang tiada kamera pada saat itu.

    BalasHapus
  7. Sepakat seperti komentar Bung Arya Zendi, diksi (pemilihan kata) lebih diperhatikan lagi. Pakai tesaurus biar kaya kata, pakai kamus supaya tidak terjerumus (salah makna). :)

    BalasHapus