Kendaraan yang dikemudikan mulai berjalan pelan. Tanpa ada komando atau perintah, kepalanya ditolehkan 90 derajat ke arah kanan, arah utara. Kejadian seperti itu bukan sekali, juga bukan hanya dua kali, tiga kalipun sepertinya juga masih kurang. Nampaknya ada tontonan spesial siang ini (28/01), sehingga para sopir yang lewat selalu memandang. Pandangan itu bukan pandangan biasa, seperti pandangan birahi yang menyala dalam segunung jerami kering.
Bukan tanpa alasan untuk memandang, sebuah hiburan tersaji dalam hajatan yang kebetulan letak rumahnya berada di pinggir jalan lingkar. Hanya tinggal menolehkan kepala campursari “Degleng Nada” dengan enam penyanyi telah siap menghibur para tamu undangan, sekaligus sopir yang lewat.
Bodinya seksi, suaranya kecil dan lantang. Ketika cemberut-pun manis, apalagi ketika senyum. Istimewa. Berkat goyangannya yang panas menggoda, seluruh pasang mata undangan tak lepas dari wajah dan tubuhnya. Kalau Aku tak salah dengar, Ayu Farida biduan itu dipanggil oleh MC. Ketika pertunjukan campursari menjelang sore, biduan itu semakin cemberut. Tempat duduknya harus bergeser mendekati para peminum alkohol, demi memuaskan hasrat yang menginginkannya. Alhasil goyangannya sudah tak menggoda seperti tadi lagi. Kini di bawah kepungan pemabuk yang berjoget biduan itu sepertinya mulai merasa tak nyaman, sebentar-sebentar memberi kode pada MC mengeneai keresahannya itu. Bahkan seseorang dengan sengaja mendekati dan meminta nomor telepon genggam biduan itu ketika sedang istirahat. Aku menduga-duga apa yang dilakukan setelah tahu nomor telepon genggamnya. Hanya pesan singkat, sekedar telepon, atau mungkin yang lainnya. Aigh, untuk apa juga aku menduga-duga? Hanya membuang waktu untuk berpikir urusan yang seharusnya tak menjadi urusanku, juga tiada hak bagiku mencampuri urusan itu.
Tiga dari enam penyanyi yang menghibur tamu undangan siang itu |
Aku melihat hal ini secara langsung beberapa meter dari lokasi itu. “Njogeto, njogeto seng hot, tak sawer ngko (goyang, goyang yang hot, nanti disawer),” ungkap salah seorang pria setelah menuang alkohol dalam gelas lalu meminumnya. Aku juga terlena dalam nuansa campursari ini, seakan memandang rendah biduan-biduan di depan seperti orang yang baru saja berucap tadi. Tapi perasaan itu segera kubuang jauh-jauh dari pikiranku. Jean Marais seorang tokoh pelukis dari buku Bumi Manusia karya Pramodya Ananta Toer pernah berkata kepada Minke. Jika, terpelajar itu sudah harus adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Aku takkan menghakimi biduan itu dengan pikiranku sendiri. Kalaupun justifikasi dari pikiranku benar, apa pentingnya buatku? Serupiah-pun tidak bakal keluar dari dompetku.
Belum tentu semua biduan seperti yang orang lain bayangkan, belum tentu biduan selalu rendah morilnya. “Mengurus moral sendiri saja aku belum becus, mengapa sudah mengurus moral orang lain?,” ungkapku dalam hati.
Aku tak menyalahkan sopir-sopir yang menoleh, juga tak menganggap salah para penikmat alkohol dan pejoget. Merasa benar akan sikapku sendiri-pun tak bermaksud demikian, hanya sebuah dukungan untuk para biduan. Tak semua biduan itu sama seperti yang kebanyakan orang pikirkan, jika bisa memilih? Mungkin mereka tak memilih pekerjaan ini. Menghargai seni daerah dan para penggiat seni daerah merupakan tugas kita bersama, jangan lukai seni itu dengan ego kita sendiri. Ingat, kebudayaan nasional bersumber dari kebudayaan daerah.
Artikel Yang Sangat Bagus Gan^^ ,
BalasHapusMohon Ijin Comment Yahh ^^
Togel Online
TOTO
TOGEL SINGAPORE
toto hk
toto sgp
togel
togel hongkong
SABUNG AYAM
casino online