Habis
tak selalu berujung manis, kopi-susu instan yang mengajariku
Senja
mulai menua kalau aku sruput kopi-susu instan tanpa gula.
Manisnya pas, karena cangkir kecil ini diisi air sesuai takaran. Setelah
cicipan pertama, aku mulai berpikir pelan mengikuti rintihan hujan akhir tahun
yang terlihat dari jendela kamar.
Tak salah kiranya jika aku mengandaikan hidup bagaikan kopi-susu
instan, tanpa pemanis buatan pun, ia akan manis ketika takaran airnya tepat. Seperti
harapan yang harus sesuai dengan kemampuan. Nampaknya manis tak perlu
dibuat-buat, manis bisa terjadi begitu saja dan apa adanya. Terdapat pelajaran
penting dari kopi-susu instan sore ini, yakni, perpaduan yang tepat akan
membuat semua menjadi hebat dan nikmat.
Semenjak sudah tak ada lagi yang melarangku untuk menikmati
wanginya seduhan kopi, aku justru merasa ada sesuatu yang hilang kala bibirku
bercumbu dengan cangkir. Dulu ku pikir kopiku akan lebih nikmat tanpa omelannya,
tapi kini ku sadari jika pikiranku terlalu sempit kala itu. Sekarang justru aku
menanti larangan itu, selalu menunggu celotehan yang nyata-nyata kurindu.
Kopi-susu instanku tinggal setengah ketika suara guntur
menggelegar sebagai tanda hujan masih menjadi raja di luar sana, seperti auman
singa yang kelaparan. Gemericik air memenuhi indera pendengaran, mengalahkan
lantunan lagu yang sedang diputar oleh seorang penyiar radio ternama kota
Yogya.
Jejaring sosial sudah penuh dengan tulisan tentang hujan,
tapi tak ada satu pun yang menulis mengenai kopi-susu instan.
Menikmati kopi-susu instan saat hujan memang nikmat, namun
tak ada yang lebih bahagia selain duduk berdua menikmati isi cangkir kecil ini bersamamu yang kini
jauh di sana. Agh, bukannya kamu tak suka kopi? Maaf aku lupa, baiknya memang
aku nikmati sendiri kopi-susu instan ini bersama hujan yang sudah tak buas
lagi.
Langit petang tetap gelap meskipun hujan mulai reda,
bagaikan konser musik metal, semua serba hitam. Ternyata kopi-susu instan di
cangkir tinggal satu cegukan, tanpa ampas. Aku terkejut ketika tiba-tiba
seorang kawan datang dengan baju basah, nafasnya terengah-engah.
“Bagi
kopinya donk, sob.”
Cangkir yang sudah berada di genggaman tangan dan siap
minum aku relakan, join kopi katanya. Kopi-susu instanku telah habis, ada rasa
bersalah ketika aku tak bisa berbagi terlalu banyak dengannya. Tapi kilat putih
menyadarkanku, bak foto-model baru yang silau karena belum terbiasa kena blitz
kamera. Bagiku sedikit berbagi lebih baik daripada banyak namun untuk sendiri,
semua hanya akan sia-sia, dan kakekat hidup bakal tereduksi karenanya.
Kopi dalam cangkir sudah habis, meski apa yang kita lakukan
selama ini tak berujung manis. Tapi tak apa, manis pun jika dipaksakan hanya akan
jadi manis buatan, dan itu lebih menyakitkan dari pahit yang alami, pahit yang
benar-benar pahit sekalipun.
Esok ku seduh lagi, esok ku nikmati lagi, esok kan ku
cumbui lagi dengan cangkir-cangkir mini. Tanpa larangan, meskipun aku merasa
kehilangan. (*)
Baca Selengkapnya...