Jumat, 23 November 2012

Tentang Hujan

Hujan bisa memberi kenangan manis pada manusia, namun tak sedikit juga yang harus menanggung kegetiran karenanya.

Kebanyakan manusia akan menjadi pujangga ketika perlahan-lahan hujan turun menyetubuhi bumi. Karya mereka beragam, mulai dari pantun, puisi sampai lagu yang sendu. Hasilnya juga bermacam-macam. Ada yang polos, menarik, bahkan juga menggelitik. Semuanya berkat hujan, semuanya berawal dari hujan.

Bayangkan sejenak, apakah kemarau dan panas yang merupakan perbandingan dari hujan bisa menimbulkan akibat yang sama seperti hujan? Sepertinya perlu telaah dalam untuk berkata iya. Aku sering berpikir tentang keunikan hujan yang satu ini, kehadirannya memang sangat dinantikan.

Prosesnya memang memilukan. Langit akan menjadi gelap karena mendung, setelah itu terlihat seperti menangis mengeluarkan air mata, jika terlalu banyak  pun bisa mendatangkan bahaya. Aku yakin karena sebab-akibat di atas, hujan selalu dianggap murung dan penuh kegelisahan. Padahal hujan penuh dengan cerita, dan di saat-saat itulah manusia akan benar-benar merasakan kehangatan sebuah pelukan. Mengharukan bukan? Bagiku sangat.

Sebelumnya aku selalu suka saat hujan tiba, karena anganku akan teringat diwaktu-waktu itu. Dimana ada tawa bersama, menikmati dentingan air hujan yang menyentuh atap tempat kita berteduh, sembari bertukar pandang sesering mungkin. Jika mulai mereda, kita nekat menerjang tanpa mantel, basah sedikit tak jadi soal, tapi itulah yang takkan terlupakan. Namun kini beda, dan sangat berbeda.

Kenangan itu justru membuatku semakin gundah, inginku berusaha melupakan. Namun entah kenapa aku selalu tak bisa, selalu kandas usahaku untuk menepis kegetiran yang aku rasakan kala hujan mulai datang. Tapi usaha ini akan terus aku lakukan sampai aku benar-benar terbebas dari memori yang tertinggal.

Agh, tampaknya aku terlalu terbuai oleh hujan. Maaf, maksudku bukan demikian. Kini saatnya untuk bergegas menjadi manusia yang hilang ingatan, asalkan tak sedikit pun kehilangan arah, komitmen, dan tujuan, juga hati nurani serta rendah hati dalam kesederhanaan.

Hujan akan tetap abadi, siklusnya saja yang mungkin akan mengalami fluktuasi. Tak jadi masalah ketika apa yang selama ini kita jalani tak bernasib sama dengan sifat hujan yang abadi.

Inilah hujan, biarkan ia tetap murung sampai reda. Tak perlu pelangi yang indahnya hanya sekejap di mata, hujan akan tetap menimbulkan dua sisi yang berbeda: keceriaan dan kegetiran. Beruntunglah bagi manusia yang tetap ceria ketika hujan turun perlahan, dan berusahalah menjadi ceria jika sampai saat ini masih ada manusia yang murung melihat hujan karena memori yang tertinggal.
Baca Selengkapnya...

Selasa, 14 Agustus 2012

Malam Ganjil (Dimana Kau Berada?)

Aku duduk pada sebuah bangku menghadap meja belajar yang berantakan. Sembari melihat tumpukan kertas—entah tertumpuk dari tahun berapa—aku tak henti-hentinya berpikir dan berpikir. Aku sadar ini bukan sebuah renungan yang melankolis, lebih-lebih puitis. Hanya kegundahan yang timbul karena kekacauan pola pikir manusia yang semakin hari semakin “cerdas”.
Balon itu pun takkan indah bila hanya satu warna.

Sedari sore tadi, aku banyak mendengarkan ceramah baik melalui televisi atau bahkan mendengar kultum langsung ketika jeda sholat tarawih. Dengan tema sama: Lailatul Qadar, hanya penyampaiannya yang beda.

Dari ceramah-ceramah itulah pikiranku terbang melayang entah kemana. Sekarang (Senin, 13 Agustus 2012) memang malam ganjil –malam ke 25 Ramadhan 1433—bagiku, tapi bagaimana dengan mereka yang berpuasa sehari lebih cepat dariku? Dengan kata lain mereka telah melewati malam 25 Ramadhan kemarin.

Lucu dan menggelitik. Mengingat malam Lailatul Qadar dalam surat Al-Qadar ayat 2 “Lailatul Qadri Khairun min Alfi Syahr”  yang jika di-Indonesiakan berarti malam yang lebih baik dari seribu bulan ini, di negeri kita akan terjadi pembenaran kapan turunnya malam tersebut, tentunya oleh mereka yang berbeda pendapat tentang kapan 1 Ramadhan tiba.

*
Sebuah percakapan antara santri dengan ustad hadir dalam menanggapi hal ini. Ketika menjelang waktu berbuka, ada sebuah diskusi kecil antara keduanya dan disaksikan oleh santri-santri yang lain.

“Jika memang harus malam ganjil perintah Allah diturunkan melalui para Malaikat dan Jibril sampai terbitnya fajar, berarti salah satu dari sekian kelompok tersebut akan sia-sia untuk meraih yang lebih baik dari seribu bulan, ya ustad?” tanya santri penasaran.

Dengan agak gelagapan sang ustad menjawab, “Bukan, bukan begitu kesimpulannya. Jangan terlalu terburu-buru. Karena tak ada sebuah ibadah yang sia-sia jika memang manusia paham hakekat ibadah sebagai apa.”

“Namun setidak-tidaknya mereka kurang beruntung ustad,” sahut santrinya cepat. Lalu sang ustad tersenyum dan menunduk ke kiri, sepertinya ustad ragu: antara akan mengangguk atau menggeleng.

Kemudian ustad menerangkan panjang lebar bahwa perbedaan adalah rahmat, yang harus dijaga dan dihormati. “Ini masalah kepercayaan, tak perlu mencari kambing hitam, toh kita juga tak tahu selama ini apa yang kita kerjakan diterima atau tidak? Yang penting dengan iman kita wajib sadar akan hakekat manusia,” jawab ustad.

Murid tersebut merasa jawaban sang guru tidak menjawab substansi pertanyaannya, terlalu melebar kearah perbedaan secara umum bukan mengupas perbedaan jatuhnya malam Lailatul Qadar. Hingga akhirnya adzan maghrib berkumandang sebelum si santri mengeluarkan kata-kata lagi. Dan ustad pun segera mengakhiri diskusi tersebut, tentunya dengan hati yang tegang, salah-salah ia yang kewalahan jika waktu berbuka tak segera tiba.

“Ayah, ayah bangun ayah sudah ashar. Santri-santri sudah siap sholat, tinggal menunggu Ayah untuk imam,” ujar istri ustad membangunkan dari tidur siang.
“Astagfirullah, adzan maghrib. Sudah buka Umi, kok masih terang?” sahutnya.
“Belum, baru Ashar.”
“Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Berarti yang aku dengarkan dalam mimpi suara adzan Ashar ini.”
“Ayah mungkin kecapekan, mari wudlu, kasihan kalau santri-santri menunggu terlalu lama,” ajak istri dan sang ustad mengikutinya.

Ternyata pertanyaan-pertanyaan tadi hanyalah mimpi, dari kegalauan pikiran seorang ustad terhadap persoalan perbedaan penentuan Ramadhan, hingga berujung kebingungannya terhadap kapan malam ganjil datang.

*
Hal tersebut barulah sebagian kecil dari upaya pencarian kebenaran kapan datangnya malam ganjil, itu pun bagi mereka yang paham tentang seluk-beluk ilmu agama. Jika seperti aku yang tak begitu pandai dalam hal keagamaan ini, perasaan galau akan lebih menyayat batin tentang kekacauan berpikir. Mau ikut siapa? Dan bisa berbuat apa tentang ketidakpahaman yang dicampur dengan kekacauan seperti ini.

Sebagai manusia biasa, aku hanya bisa berharap, dan tak lebih dari sebuah harapan. Semoga perbedaan ini memang atas dasar keyakinan, bukan karena gengsi golongan atau maksud politis lainnya. Mengingat hal-hal seperti ini sangat mungkin dipolitisasi oleh mereka yang memang punya kesempatan untuk itu, lebih-lebih ada dua ormas yang sering menyuplai paham dalam hal ini.

Seperti apa yang diungkapkan ustad dalam mimpinya di atas tadi, bahwa perbedaan adalah rahmat, dan kita sebagai manusia harus paham tentang hakekat manusia dalam hal keimanan: terciptanya manusia adalah sebuah misteri, begitu juga dengan keberadaan Tuhan. Jadi selama misteri itu tetap menjadi misteri, selama itu pula kita perlu Tuhan. Maka kita pasrahkan hidup kita pada-Nya, melalui iman dan takwa.

Mataku mulai lelah, namun waktu sahur sudah tiba. Kumatikan alat pengetik tulisan ini untuk segera bergegas membangungkan keluarga. {*}
Baca Selengkapnya...

Jumat, 10 Agustus 2012

Tertusuk Kenangan

Sembari duduk bersandar almari, suara televisi menemani aktivitasku memainkan jemari di komputer lipat buatan Taiwan. Sedari siang tadi pikiranku terus melayang dan terbayang pada suatu daerah di ujung barat daya propinsi D.I. Yogyakarta. Tak terasa sudah dua hari aku telah meninggalkannya, daerah dengan suasana yang nyaman kala malam datang menjelang. Aku tak tahu mengapa aku begitu rindu akan hari-hari di Kalibuko 1—sebuah dusun yang aku sambangi barang 30 hari yang lalu. Sepertinya segala sesuatu yang aku lakukan di dusun itu begitu membekas jauh di sanubari.

Matahari terbit dari celah-celah bukit mampu membuka harapan baru bagi masyarakat Kalibuko 1.
Angin Kalibuko 1 telah mengajari aku betapa nikmatnya kehangatan kamar kost yang biasanya ku sebut panas, karena baling-baling kipas harus berputar setiap aku ada di dalam ruangan 3x4 meter ini. Kesederhanaan masyarakatnya begitu luar biasa, bagaimana bisa mereka bertahan dengan kondisi geografis seperti itu jika tanpa keteguhan dan kebersihan hati? Indah sekali.

Sekolah menengah hanya ada di kecamatan. Tak ada angkutan umum, hanya sebagian berkendaraan pribadi roda dua, selebihnya jalan kaki berpayung terik mentari. Sungguh luar biasa tekad masyarakatnya untuk terus berkembang.

Melimpahnya pohon kelapa di Kalibuko 1 membuat hampir seluruh penduduk menyadap nira, biasanya mereka mneyebutnya nderes. Ada sebuah filosofi kehidupan yang mendasar pada pekerjaan ini: ketika naik, mereka sadar betul suatu saat harus turun lagi. Nilai ini selalu diabaikan oleh sebagian besar manusia, ketika jaya manusia akan memanfaatkan segalanya demi ambisi dan tak menggubris sekitarnya masih meringis menahan lapar.

Aku takkan cerita banyak tentang Kalibuko 1, itu hanya akan semakin memperburuk kegalauan perasaanku, mengingat saat-saat tersebut merupakan waktu yang istimewa sekali bagi pengalaman sekaligus pendidikan mental.

Masa-masa itu memang telah kadaluwarsa, tapi begitu berbekas. Sementara tugas berat menuju masa depan gemilang sudah menanti kapan datangnya masa-masa bertoga, lalu kerasnya kehidupan telah menunggu tenaga dan curahan pikiran kita.

Aigh, nampaknya aku lupa. Selama aku masih menjadi anak kuliah—label mahasiswa sepertinya terlalu berat dipundakku—fungsi  sosial-kemasyarakatan sebagai anak kuliah tak boleh dianggap remeh: Lakukan apa yang kita bisa untuk mereka yang dirampas hak-haknya. Selama rembulan masih berada di langit, selama itu pula keletihan hanya akan menjadi candu dalam hidup kita.
Baca Selengkapnya...

Minggu, 22 Juli 2012

Bangunkan dari Koma, Tuan

Belum genap dua kali sahur di ramadhan ini, mentari pun masih sangat malu untuk menari di waktu-waktu dekat nanti. Aigh,hampir saja aku lupa menyebutnya. Mungkin beberapa jam lagi sudah menjadi sahur ketiga bagi beberapa muslim di Indonesia. Ya, tahun ini di negeri kita ini lagi-lagi kaum muslim berbeda pendapat tentang kapan jatuhnya  1 Ramadhan. Politis, kekolotan aliran, atau hanya pramatisme semata merupakan penyebab utama yang ada di balik perbedaan itu.

Walaupun terkadang kebersamaan di atas perbedaan itu indah, namun untuk hal yang satu ini aku masih harus berpikir ulang. Mengingat penetapan puasa yang begitu aduhai—politisnya—dari pemerintah, bahkan disiarkan langsung melalui televisi, dan sepertinya hanya menampilkan pembenaran-pembenaran. Semua beradu kepandaian ilmu agamanya di forum tersebut, tentunya mewakili (kepentingan) kelompok masing-masing. Dari tayangan langsung tersebut dapat diambil konklusi bahwa di negeri subur ini banyak orang pandai, tapi apakah mereka juga berintegritas, berdedikasi, bahkan beridealisme secara tepat? Mungkin iya, tapi tak menutup kemungkinan banyak tidaknya.

Selama ini penetapan hari-hari penting hijriyah terkesan seperti ajang eksistensi antara dua organisasi massa (ormas), kita pasti sudah tahu siapa mereka tanpa harus menyebutnya lagi di tulisan ini. Kekolotan pemikiran sulit ditanggalkan, semua karena mereka ingin menjadi yang terdepan dalam bidang ilmu keagamaan. Mereka berlomba-lomba berebut benar yang tak terlihat dari kesalahan-kesalahan yang nampak.

Sampai kapan masyarakat awam akan terbelenggu dengan kekonyolan seperti ini, mereka kira kaum kebanyakan akan paham tentang perbedaan itu? Tidak, kebanyakan akan bingung karenanya. Dimana ujung kekolotan-kekolotan ini? Lalu apa baiknya selain hanya keeksisan golongan? Jangan biarkan bangsa ini terus-terusan koma, Tuan.
Baca Selengkapnya...

Kamis, 31 Mei 2012

Jakarta di Kepung Buruh (May Day)

Cuaca terik Ibukota tak menyurutkan para buruh untuk memperingati may day—hari buruh sedunia—awal bulan lalu. Sejak pagi, kawasan bundaran Hotel Indonesia (HI)—tempat favorit bagi demonstran untuk melakukan aksi demonstrasi—sudah dipadati oleh ribuan buruh. Jalur Busway tujuan kota dan Blok M ditutup total karena macet, pengguna jalan yang terjebak macet terpaksa harus melapangkan dadanya beberapa jam kedepan. Jalan MH Thamrin sisi selatan bundaran HI pun penuh dengan antrian kendaraan yang mengangkut buruh. Orasi politik, pernyataan sikap, teriakan dan yel-yel diteriakkan buruh secara bergantian, hari itu Jakarta dikepung buruh.

Tepat sebulan lalu, mereka melontarkan berbagai tuntutan melalui aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai penjuru dunia. Salah satunya di Jakarta, kota dengan kepadatan penduduk terbesar di Indonesia ini dikepung oleh buruh dari berbagai organisasi buruh yang menaunginya.

Dalam aksinya kemarin, para buruh meminta pemerintah menghapus sistem kerja kontrak atau yang beken disebut outsourcing, menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional, serta menaikan upah minimum kerja di seluruh wilayah kerja buruh Indonesia dalam negeri.

Peringatan May day 2012 di Jakarta berlangsung damai, walaupun sempat terjadi ketegangan antara buruh dengan aparat keamanan karena kesalahpahaman. Berikut ini beberapa momen yang dapat diabadikan oleh Bobby A. Andrean ketika mendapat tugas reportase di Jakarta.

Buruh Berbendera Merah

Rejeki Tambahan

Konvoi Buruh

Citizen Journalism

Di Antara Demonstran

Aksi di Metro Mini

Dampak May Day
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 12 Mei 2012

Ada Mereka di Balik Berita


Aku duduk membelakangi almari coklat—berisikan pakaian, sedangkan bagian atasnya beralih fungsi menjadi rak buku—sembari melihat berita dari televisi (TV) yang hanya 45 derajat di sebelah kiriku, jaraknya pun tak lebih dari semester. Walaupun kipas angin yang berada di belakang laptop tempatku menulis ini berputar dengan kencang, namun suhu panas tetap terasa di kamar kost dengan ukuran 3 x 4 ini.
Sudah lebih dari sebulan TV-ku tak mampu bersuara, mungkin ada kerusakan ringan pada kabel atau speakernya, dan semoga saja begitu. Tapi setidaknya aku masih bisa melihat gambar dengan jernih. Adanya teks di tiap berita mempermudah aku untuk mengetahui apa maksud pemberitaan tersebut, lainnya berita sulit kupahami.
Melalui TV merk LG ini mulai ku rasakan beritanya tak berubah dibeberapa hari terakhir, tetap itu-itu saja: kecelakaan pesawat Sukhoi super jet saat melakukan demo penerbangan. Praktis, berita politik dan hukum yang biasanya memenuhi tayangan berita dari awal sampai akhir sedikit berkurang intensitasnya.
Stasiun TV yang tak pernah menayangkan berita singkat, atau sering disebut breaking news—biasanya hanya menayangkan dua sampai tiga judul berita saja—kali ini mencoba menginformasikan kondisi terkini kecelakaan melalui cara pemberitaan secara demikian. Seluruh stasiun TV berlomba-lomba memberitahukan informasi sedetail-detailnya, tak jarang mereka melaporkan langsung dari lokasi-lokasi sentral terkait dengan kecelakaan pesawat: sekitar tempat kejadian perkara, rumah sakit Polri, dan bandara Halim Perdanakusuma. Bahkan beberapa media TV sampai mengundang para ahli yang memang berkompeten mengenai masalah pesawat, penerbangan, serta pencarian dan penyelamatan korban untuk berdiskusi dalam salah satu sesi berita. Dan aku yakin kejadian ini bakal jadi judul dalam “adu mulut” para pengacara di stasiun TV  yang identik dengan warna merah, semoga saja tidak.
Melalui pemberitaan ini, dapat kita ketahui bersama jika peran media—terutama media audio-visual—sangat besar. Bahkan keluarga korban juga mengandalkan informasi dari pemberitaan media. Pernah ku lihat dalam breaking news, seorang keluarga yang menanti kepastian nasib saudaranya diwawancarai oleh seorang pewarta, ia mengatakan selalu menanti informasi actual di layar kaca, seakan-akan matanya tak ingin lepas fokus dari TV yang ada di ruang tunggu tempat mereka mencari informasi, sekaligus berharap akan keajaiban dan kuasa Tuhan agar tetap dipertemukan lagi dengan sanak-saudaranya yang menumpang pesawat Sukhoi, tentunya dalam kondisi hidup.
Di sisi lain media cetak juga tak ingin kalah pamor, mereka mencoba menampilkan foto-foto terbaru di halaman pertama sekaligus menempatkan kejadian tersebut sebagai headline. Terkadang disertai gambar-gambar pendukung berita yang menerangkan kronologis kecelakaan, mungkin berita media cetak lebih mendalam dibanding laporan langsung oleh media TV, walau hanya beberapa media, selebihnya sama saja atau justru kurang lengkap sama sekali.
Bagiku semua informasi takkan bisa sampai ke masyarakat jika kerja pewarta tak mendapat akses yang mudah dari berbagai pihak. Mereka kadang masih dianggap sebagai penggangu dalam segala acara, mungkin karena jumlahnya banyak dan peralatan yang dibawa bagaikan “senjata” bagi para pecinta ketidakadilan. Padahal kerja mereka bukan tanpa resiko, salah satunya harus behari-hari berpisah dengan kelurga, demi mengirimkan informasi pada masyarakat—selain karena tuntutan ekonomi. Tapi menurutku, mereka yang benar-benar paham tugas dan fungsi jurnalistik takkan berorientasi pada uang, melainkan tanggungjawab pada masyarakat.
Sampai tulisan ini dibuat, saya masih yakin bila mereka menginformasikan kejadian ini secara besar-besaran bukan karena ingin mengalihkan isu, tapi karena paham akan fungsi dan tugas seorang pewarta. Selalu ada mereka di balik berita. Bersama penyelamat dan relawan, mereka semuanya selalu dalam lindungan Tuhan, karena Tuhan bersama para jurnalis yang pemberani. [*]
Baca Selengkapnya...

Kamis, 22 Maret 2012

Kepastian Hukum Mencederai Keadilan

Kita sering menjumpai putusan hakim yang kontroversial di mata masyarakat, hal ini tak lain dan tak bukan karena adanya benturan antara kepastian hukum yang diagung-agungkan oleh kebanyakan Hakim, sementara masyarakat menginginkan keadilan.

Selalu ada tikungan di setiap jalan yang lurus, begitu juga seharusnya penegak hukum bekerja. Kepastian hukum harus fleksibel mengikuti rasa keadilan. (Foto by Bobby A. Andrean)

Keadilan. Sebuah kata sederhana, namun sarat akan polemik yang berkepanjangan. Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Mengingat setiap keadilan pada satu pihak, di sisi lain selalu ada pihak yang merasa dan merasakan ketidakadilan. Ketika ada sebuah pertanyaan tentang dari mana datangnya keadilan, manusia humanis akan mengatakan keadilan datang dari hati nurani yang bermartabat. Tapi hati nuraninya siapa? Pasalnya setiap manusia mempunyai kapasitas hati nurani yang berbeda: penjahat takkan sehati nurani dengan penjahit, begitu juga sebaliknya.

Sedari dulu, kata keadilan sangat identik dengan putusan-putusan Lembaga Peradilan, sehingga banyak yang mengartikan bahwa putusan Pengadilan haruslah bersumber dari hati nurani. Lalu darimana datangnya hati nurani Pengadilan? Apakah Tuhan dengan serta-merta menciptakan keadilan di Lembaga-Lembaga Peradilan dengan begitu saja, tentu tidak dan itu jawaban yang terlalu berlebihan. Tuhan memang Maha Adil—tak ada tawar-menawar tentang hal tersebut, meskipun ada, rasa-rasanya tak etis—namun bukan pengadilan dunia konteksnya, melainkan dosa dan pahala untuk keabadian ciptaan-Nya di akherat. Keadilan sebuah putusan Lembaga Peradilan akan bergantung pada penegaknya, kewenangan ini diamanahkan pada sebuah organ inti setiap Lembaga Peradilan, yakni pada Hakim.

Sangat ironis memang, di negara yang sudah terbebas dari penjajah setengah abad lebih ini, Hakim di Lembaga Peradilannya masih dan hanya bertindak sebagai corong undang-undang, namun hati nuraninya mati oleh tumpukan kertas yang disusun manusia pendahulunya. Hakim menilai putusan yang dibuatnya sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, artinya putusan tersebut telah memenuhi standar asas kepastian hukum. Sehingga di zaman modern ini, masyarakat sering menemukan putusan-putusan yang kontroverisal karena Hakim menempatkan asas kepastian hukum di posisi terdepan, bukan asas keadilan.

Kepastian hukum selayaknya dan seharusnya melahirkan sebuah putusan menjadi lebih adil, dengan kata lain kedua asas tersebut bisa saling melengkapi. Namun, realita kekinian sangat bertolak delakang dengan hal tersebut. Hakim mengedepankan kepastian hukum,sementara keadaan sosial mengharapkan keadilan. Keadilan dan Kepastian hukum bagaikan air dan minyak, walaupun ditempatkan dalam satu wadah, tapi keduanya tak dapat bercampur, seperti mengeksklusifkan unsurnya masing-masing.

Dalam berbagai kasus hukum, banyak sekali pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Terakhir publik dikejutkan dengan peradilan yang menyidangkan seorang remaja dengan dakwaan mengambil sandal gunung milik anggota Kepolisian di Palu. Walaupun persidangan sudah sesuai dengan protap, namun kebenaran remaja tersebut kedapatan mencuri sebenarnya masih dipertanyakan. Karena remaja tersebut mengaku bahwa mengambil sandal di jalan depan rumah, sehingga ia mengira sandal itu tak bertuan. Teman remaja itu juga mengakui demikian, di persidangan pun barang bukti yang dihadirkan juga berbeda dari ukuran serta mereknya. Lalu adilkah ketika awalnya remaja itu didakwa dengan pasal pencurian 362 KUHP dengan kurungan penjara 5 tahun? Secara kepastian hukum memang benar, namun adilkah hal tersebut? Kita wajib bertanya pada hati nurani kita masing-masing. Untung saja walaupun Hakim menyatakan remaja itu bersalah, namun ia membebaskannya. Dahulu diakhir tahun 2009, seorang nenek yang mengambil biji coklat juga harus menjalani persidangan. Padahal biji itu tak jadi ia ambil, ia sudah mengembalikan biji itu pada petugas keamanan. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian seperti ini.

Berita terbaru saat ini, mantan Bupati di kabupatenku mendapat vonis bebas. Hakim beralasan bahwa perintah lisan tak dapat dijadikan alat bukti tanpa disertai alat bukti lain, padahal bukti lain masih bisa dicari lebih lanjut untuk menunjukkan keterlibatan mantan Bupati tersebut. Anehnya, dua terdakwa lain yang sekaligus mantan bawahannya divonis hukuman penjara. Ini merupakan keputusan janggal, Jaksa Penuntut Umum harus melakukan banding, dan itu wajib hukumnya. Karena aku dan seluruh warga kabupatenku paham betul bagaimana watak mantan Bupati itu: kala menjabat dulu, semua bawahan harus menuruti perintahnya, jika tidak, ia akan marah besar, dan tak segan memutasi bawahan yang mbalelo. Kasus ini semakin menguatkan fakta jika kebanyakan hakim telah mati rasa hati nuraninya.

Seorang Hakim sekaligus Dosen mata kuliah praktik peradilan di kampus ini menilai bahwa pertentangan antara kedua asas ini tak luput dari peran media. Menurutnya media telah membentuk pertentangan antara kedua asas tersebut, sehingga kasus yang mulanya kecil bisa menimbulkan gejolak sosial yang berkepanjangan. Salah satunya kasus pada paragraf di atas. Sementara Dosen lain di kampus ini yang juga berprofesi sebagai Hakim mengatakan bahwa putusan hakim lebih mengacu pada dakwaan Jaksa, sehingga Hakim bukan satu-satunya organ yang bertanggungjawab dan berpengaruh dalam suatu putusan pengadilan.

Akan tetapi ketika seorang Hakim membuat putusan dengan menggunakan metode “memerdekakan” dirinya sendiri dari semata-mata kepastian hukum, sepertinya media dan pengamat hukum serta masyarakat takkan menganggap putusan tersebut kontroversial.

Beberapa puluh tahun yang lalu, tepatnya diakhir tahun 80-an para hakim dikejutkan oleh rekan seprofesinya sendiri, Bismar Siregar. Kala itu Bismar menganalogikan pemerkosaan dengan pencurian, banyak hakim tak sependapat dengan langkah yang dibuatnya tersebut. Kendati demikian Bismar tetap pada pendiriannya, ia menilai kepastian hukum hanya sebagai sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Bahkan ia berpendapat bahwa, ia akan mengorbankan kepastian hukum demi terwujudnya keadilan, artinya ia akan mengorbankan sarana untuk sebuah tujuan.

Kini setelah lebih dari 20 tahun setelah putusan Bismar, mengapa tujuan selalu dikorbankan hanya karena sarana? Miris memang. Pada dasarnya hukum hukum diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Idealnya hukum ditempatkan sebagai alat, bukan tujuan.

Hukum harus peka terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, baik lokal, nasional, maupun universal. Di Indonesia dengan tingkat korupsi sangat tinggi, sangat wajar ketika media dan pengamat hukum, serta masyarakat aktif untuk ikut andil mengawasi kinerja penegak hukumnya. Bayangkan bila seorang pencuri sandal, biji coklat, dan semangka harus menjalani hukuman yang sama dengan para koruptor? Padahal berapa jarak kerugian yang ditimbulkan dari keduanya, sangat jauh bukan? Perbandingan inilah yang menyulut amarah para pencari keadilan, hukum hanya kejam bagi rakyat jelata yang tak mampu membayar pengacara.

Hukum harus dikembalikan kepada tujuan utamanya, yakni kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Dengan mengorbankan sarana, keadilan sebagai tujuan akan mempermudah terciptanya kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat sebagai subyek hukum itu sendiri. Sehingga masyarakat tak menilai putusan-putusan Pengadilan hanya lancip dan tajam pada masyarakat golongan bawah semata, melainkan juga harus kejam serta menikam para penjahat kelas kakap macam koruptor, pengemplang pajak, serta pemeras melalui wewenanng yang diperolehnya. Dengan demikian masyarakat merasa terlindungi oleh sistem hukum dan penegakkannya, agar takkan muncul lagi kepastian hukum yang mencederai keadilan. Sekian dan terima kasih. [*] Baca Selengkapnya...