Sabtu, 22 Januari 2011

Tingkah Richi Ketika 11 Januari


         Selasa senja di Keadilan, 11 Januari 2011 silam. Menampakkan kesunyian di balik ramainya Yogyakarta, memperlihatkan hiruk-pikuk yang lenyap karena cuaca, hanya menyisakan beberapa manusia beraktifitas.


          Matanya melotot setiap dia berkata, dan mata itu selalu berpindah pandang dari teman yang satu ke teman lainnya. Apa yang diucapkannya cukup meyakinkan, memang dia seorang terpelajar dengan status mahasiswa aktif di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

         Anak persma mana yang tak mengenal pria berkulit sawo matang dengan rambut keriting sebahu berkuncir ini? Lengkap dengan celana jeans panjang model cutbray melekat di pinggangnya, selera dia dalam berpakaian memang lain dari mahasiswa modern yang sebaya. Giginya sedikit kurang teratur, terlihat jelas ketika dia sedang tertawa.

           Sepintas bentuk wajahnya yang oval terlihat mirip seperti pemain sepakbola asal Brasil, sempat juga Aku mengira bahwa dialah Ronaldinho. Tapi perkiraanku itu dengan cepat ditepis oleh gaya bicara dan bahasa yang digunakannya, dari situlah Aku dapat mengetahui dengan jelas dia seorang warga negara Indonesia. Lewat aroma badannya tak dapat Aku taksir kapan ia terakhir mandi, belum tentu juga tadi pagi. Teman-teman sering memanggilnya Richy, karena memang namanya Richy. Pasti bukan anak persma jika tidak mengenal ketua Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Yogyakarta yang satu ini.

          Sore itu setelah rapat selesai, kudapati Richi duduk seorang diri di depan ruang Keadilan. Dia tersenyum lebar ketika mengetahui beberapa dari anggota Keadilan keluar dari ruangan yang penuh dengan barang bantuan untuk pengungsi itu. Ya, semenjak erupsi Merapi ruangan Keadilan seakan-akan menjadi gudang timbunan bantuan.

          Sepertinya telah turun hujan ketika rapat berlangsung tadi, walau mungkin tidak terlalu deras. Hujan itu membasahi pelataran kampus, tumbuhan nampak tersenyum senang dengan adanya air jenuh dari langit. Richi duduk di kursi sofa bekas, bau sofa itu juga sudah tak bisa dikatakan wangi lagi. Bahkan busa yang ada dalam sofa tersebut sudah terburai keluar dengan sendirinya, tangan-tangan jahil juga mempunyai andil besar terhadap terburainya busa sofa tersebut.

          Andi, Fauzi, Tommy, Ockhy, duduk diatas apa yang sekiranya dapat mereka duduki. Dan Aku terpaksa duduk di salah satu sofa, sementara Adnan ada di dalam ruang Keadilan. Perbincangan dengan Richi beserta beberapa anggota Keadilan dimulai. Gaya bahasa dengan logat timur satu per satu keluar dari mulut yang tak didukung gigi beratur. Dia berasal dari Belu, Nusa Tenggara Timur.
           
           Dengan fasih dia berbagi ilmu tentang tata bahasa Indonesia. Richi menganggap bahasa Indonesia adalah bahasa asing, karena sejak kecil sampai dia mengenyam sekolah di daerah asal, dia dan sang guru selalu menggunakan bahasa daerah. Tidak dapat diketahui secara jelas, apakah karena alasan itu dia mengambil jurusan bahasa dan sastra untuk pendidikan tinggi yang sedang ia tempuh? Tapi setidaknya rakyat Belu mempunyai secerca harap dari pria berperawakan tinggi-kurus berkulit sawo matang ini.

          Menjelang Isya’ perut kami sudah tidak bisa diajak kompromi. Andi, pria muda dengan codet di sebelah hidungnya mengajak kami makan di warung Mbak Siti. Dengan sedikit bualan, akhirnya Richi menyetujui untuk ikut makan malam bersama kami. Hanya Aku, Richi, Adnan, Fauzi, dan Andi yang turut serta dalam makan malam.

         Setelah memesan makanan, kami masuk dalam ruangan sempit yang nampak seperti ruang tamu milik Mbak Siti. Ruangan dengan ukuran 3X4 itu dipenuhi tumpukan kardus mie instan pada bagian depan, sementara ada lima kursi ditengah. Ternyata Mbak Siti bukan hanya penjual mie instan, di sebelah sisi kiri ruang tamu yang kami gunakan untuk makan terdapat banyak tabung gas elpiji 3kg untuk dijual. Di depan tumpukan gas elpiji 3kg terdapat sebuah motor bebek buatan Jepang.

          “Permisi mas, mau ngetokne motor dulu”, kata orang di belakangku dengan nada lirih dan bahasa campuran Jawa-Indonesia. Lelaki paruh baya dengan perawakan kekar itu lantas mengeluarkan sepeda motor yang berada di belakang kursi. Aku sanggup memastikan ia ayah Mbak Siti, seorang pensiunan tentara, terbukti ketika kulihat dari pigura di ruangan sebelah yang memajang potret ayahnya sebagai tentara.

          Mie instan disajikan satu per satu, Fauzi yang pertama menikmatinya. Suhu udara yang panas, membuat pria asal Solo ini berkeringat saat makan dan akhirnya harus membuka jaket jeans yang melekat pada tubuhnya. Richi mendapat giliran terakhir sebelum Aku, nampak mencampurkan dua bungkus nasi ke dalam sepiring mie goreng nyemek yang dipesan. Aigh, tak dapat Ku bayangkan bagaimana rasanya. Mungkin karena baru pertama kalinya makan mie seperti ini, maka Richie sedikit kebingungan untuk melahapnya.

          Waktu telah beranjak dua puluh satu menit dari jam delapan malam. Mengingat masih ada ujian esok hari, kami meninggalkan ruangan sempit itu lantas membayar, dan kemudian pulang menuju kost masing-masing dengan keadaan kenyang sekenyang-kenyangnya.
          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar