Dua jarum pada jam dinding kamarku menunjukkan hari telah beranjak siang, teringat betul olehku karena mataku terbuka pertama untuk kalinya di hari itu. Aku membuka mata untuk hari bersejarah yang takkan terulang kembali, cetusku dalam hati tanpa emosi. Seketika teringat bahwa hari ini tepat dimulainya laga perdana Liga Primer Indonesia (LPI), dan Aku sudah berjanji bersama beberapa teman untuk menyaksikannya secara langsung sore nanti.
Ketika waktu sudah jenuh untuk menemani siang berawan ini. Aku melaju bersama beberapa temanku menuju Manahan, stadion megah di pinggiran Kota Bengawan. Belum juga perjalanan ini sampai setengah dari tujuan, laju motor kami harus terhenti oleh tetesan air. Tetesan air dari angkasa, manusia selalu menyebutnya hujan.
Di jalanan menuju Solo tak satupun Aku menemui hingar-bingar euforia pembukaan LPI, mungkin hanya satu-dua motor beratribut Pasoepati, suporter fanatik dari dan untuk Solo denga corak merah. Hujan tetap tak terbantahkan, sekalipun Aku memohon untuk reda sejenak saja. Perjalanan berakhir setelah motor yang kami tumpangi berada di depan Stadion Manahan Solo, tak kepalang tanggung basahnya.
Dari petugas parkir Ku ketahui tiket telah habis, jikapun ada berarti harus membelinya dari calo dengan berkali lipat nominalnya. Tak seperti di jalanan tadi, di peraduan ini suasana sangat meriah, warna merah sangat kentara sekali, riuhnya seakan tak tertandingi. Tapi sayang, hujan itu membuat kami terlambat dan tiketpun melayang. Terdengar dari pengeras suara, nada seorang wanita dengan lembut dan mempesona yang menyebutkan tuan rumah tertinggal tiga gol dari tamunya. Nama Bachdim juga tak luput disebut, berkat kelihaiannya mampu membius nusantara akhir tahun lalu dan awal tahun ini. Sayang, tak kudapati momen itu, hanya dari pengeras suara. Sekali lagi karena hujan.
Babak pertama memang telah berakhir, tapi tak sia-sia kuintari bagian luar lapangan megah ini. Pintu tribun selatan, tepatnya belakang gawang telah menganga tanpa gembok lagi. Besi sebagai pembatas itu kuperhatikan telah bengkok, ada dua dugaan dalam hatiku. Pintu itu dijebol secara paksa oleh para mereka yang mana tak bertiket, itu yang pertama. Atau memang sengaja dibuka karena banyaknya mereka yang beratribut serba merah.
Secara perlahan sampailah Aku di tengah euforia pasukan merah. Hujan memang menang dalam perdebatan sengit denganku hari ini, seakan belum puas membasahi raga. Hanya tersisa babak kedua, tak kudapati upacara pembukaan LPI. Hujan telah mengagalkan rencana manisku setelah bangun siang tadi. Tak Ku hiraukan kekecewaan pasukan merah yang tak terbantahkan, tim yang didukungnya takluk lima gol dengan satu balasan, beruntungnya tanpa anarkis.
Niatan bermalam di Kota Bengawan sirna, karena hujan. Kau hujan, mengapa tak beri kami sedikit waktu untuk sejenak menghindar dari dingin. Sampai kami pulangpun Kau tetap setia menindas raga kami, tindasan sadis yang tak akan pernah terbantahkan apalagi terbalaskan. Namun hati kecilku berbisik, "jangan salahkan hujan!". Bisikan itu terngiang selalu setiap Aku mengkambing-hitamkan hujan. Lambat-laun Aku tersadarkan betapa bangsaku takkan ada tanpamu, bangsaku akan menangis dan menjerit tanpa kehadiranmu. Aigh, bukan hanya bangsaku. Seantero bumi akan melong-long untuk kehadiranmu, ampuni Aku yang telah menyalahkan keberadaanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar