Selasa, 25 Januari 2011

Berteduh di Angkringan

          Key-in atau yang lebih dikenal dengan nama KRS-an tadi (24/01/2011) memang berjalan cukup sukses, seluruh mata kuliah yang dipilih berhasil diambil. Dengan selesainya key-in, maka sudah menjadi suatu kewajiban untuk segera pulang menuju kampung halaman.


          Perjalanan pulang bukan tanpa halangan. Angkringan (warung kopi) yang terletak di pinggir jalan raya Yogya-Solo ini sudah menjadi tempat ketiga untuk sekedar berteduh. Memang hujan turun tak terlalu deras, bisa dibilang hanya gerimis, tapi gerimis itu cukup membuat kami berdua basah kuyup jika tetap nekat melanjutkan perjalanan. Mengingat masih ada jarak 80 kilometer lagi untuk sampai tujuan.

          “Monggo mas, pinarak mlebet (mari mas, silahkan masuk),” sambut pemilik warung berambut gondrong sibak tengah itu. Kedua matanya yang bulat memandangi kami dengan senyuman lebar pada bibir tebalnya, kuperhatikan posisi gigi bawah lebih maju dari gigi atas. Dari wajahnya dapat kutaksir belum sampai 30 tahun usianya, masih muda.
           “Nggih mas, ada kopi mas,” kataku.
           “Kopi item ada, kopimix juga ada”
           “Kopi item satu, kopimix satu mas”
           “OK. Dari mana mau kemana mas?”
          “Dari Yogya mau ke Sragen, udane wes wet mau to mas (hujannya sudah sejak tadi mas)?”
          Ho’o mas, neng ora patik’o deres. Mau yo ono sopir ko Sragen mampir kene, lagi ae (iya mas, tapi tak lebat. Tadi juga ada sopir dari Sragen yang mampir ke sini, baru saja), ” jawab pedagang itu dengan sopan dan ramah.

          Sebungkus nasi dilengkapi satu tempe bengok dan satu tempe gembus menemani kopi hitam kental ini. Tak membutuhkan waktu lama untuk terlarut dalam sebuah obrolan, obrolan dengan segala tema. Hargai cabai yang melonjak akhir-akhir ini menjadi bahan dalam perbincangan di pinggir jalan Yogya-Solo, bersama pedagang angkringan. Awalnya aku bercerita bahwa cabai di daerahku sudah seperti barang mewah, persawahan dengan tanaman cabai selalu dijaga dengan ketat setiap malam. Bak para sipir yang menjaga para narapidana di penjara. Aigh, sipir-pun tak seketat ini. Hal ini semata-mata agar cabai tidak lenyap dicuri oleh orang lain. Ya, memang sejak harga cabai melambung tinggi banyak orang tak bertanggung jawab mencurinya. Apalagi kalau tak karena terpikat harganya, untuk urusan perut dan bawahnya. Santer terdengar seorang pencuri babak belur dihajar masa, setelah ketahuan mencuri cabai di daerahku.



          “Maling Lombok nek konangan terus ono barang buktine kon mangan lomboke seng dicolong kui wae mas, ngasi entek. Nek gak gelem lagi laporne Polisi, daripada do main hakim sendiri (pencuri cabai kalau ketahuan dan ada barang buktinya, cabai yang dicuri itu harus dihabiskan si pencuri. Kalau tak mau, baru lapokan ke Polisi, daripada main hakim sendiri,” celetuk pedagang itu menanggapi ceritaku tadi. Tak ayal tanggapan itu disambut gelak tawa dari kami bertiga. Pemikiran yang lumayan unik dari mas Dwi, ku ketahui namanya Dwi setelah berkenalan usai celetukan itu.
Sosok mas Dwi yang diharapkan anak dan istrinya sebagai tulang punggung keluarga.

          Bunyi air hujan yang turun di atas tenda oranye ini masih terdengar keras, itu tandanya hujan belum berhenti. Obrolan kami terus berlanjut. Mas Dwi mengeluh banyaknya saingan sekarang ini membuat dirinya harus bekerja lebih ulet lagi. Pria kelahiran Wonosari tahun 1983 ini sekarang telah beristri dan dikaruniai seorang anak. Untuk tetap bertahan di zaman sekarang, semua harus diperhitungkan.

          Mas Dwi tergolong pecandu berat rokok, dalam sehari ia bisa menghabiskan dua bungkus rokok "76". Ia tak pernah mencoba rokok mild, taksirannya sendiri jika merokok mild dalam sehari mungkin bisa mencapai empat bungkus. “Nek kepepet mas, nek kepepet aku lagi udud "BB" mas. Masalahe nggo biaya anak sekolah barang ok mas (Kalau terpaksa aku baru merokok BB mas, masalahnya untuk biaya uang sekolah anak juga),” terangnya. Dengan gerobak dan dagangannya ia mempunyai tanggungan yang besar untuk menghidupi keluarganya, agar kelak semua dapat tercapai seperti apa yang diharapkannya.

          Tempat berteduh ketiga kami ini mempunyai banyak pelajaran hidup. Setelah menghabiskan kopi, walau gerimis tetap kami paksakan untuk melanjutkan perjalanan. Dan akhirnya harus berteduh lagi, lima kali berteduh cukup membuat kami bosan. Perjalanan yang idealnya ditempuh dalam waktu dua jam, kini harus molor hingga enam jam.

           

2 komentar:

  1. sanggar juga blog mu

    visit http://acan-elhasby.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. Agh, pujian adalah segala-galanya yang paling buruk.

    BalasHapus