“Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa, pada
suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
(Soe Hok Gie - Sebuah Tanya, 1969)”
Salam Persma!
Petikan bait
pertama puisi Sebuah Tanya di atas tergolong dalam majas alusio, artinya
ungkapan yang dapat diketahui secara mudah, bahkan untuk orang awam sekalipun.
Dan kalimat tersebut sekaligus menjadi legitimasi untuk pelantikan kepengurusan
baru di sore ini—sore gerimis tapi romantis, yang suatu saat nanti akan terjadi
lagi, lagi, dan lagi.
Senin
dini hari, delapan hari yang lalu, setelah melalui mekanisme pemilihan,
pimpinan sidang musyawarah anggota melalui surat keputusan No. 13/TUS/MA/LPM FH
UII/XII/2013 menetapkan seorang mandataris baru LPM KEADILAN periode 2013-2014.
Seminggu kemudian, melalui rapat formatur, terbentuklah Struktur Kepengurusan
LPM KEADILAN FH UII Periode 2013-2014 seperti yang telah dibacakan tadi.
Banyak
sekali dinamika yang terjadi dalam periode 2012-2013 yang lalu. Awalnya kita
bagaikan sayur segar yang siap dipetik, berwarna-warni—merah, putih, hijau,
bahkan abu-abu—lalu bertemu di sebuah tungku yang tidak terlalu besar bernama
KEADILAN. Di tungku tersebut kita larut dalam air kekeluargaan yang memang
benar-benar mencairkan. Ketika nyala api dialektika di bawah tungku semakin
besar, intrik dan konflik menjadi bumbu penyedap agar sayur ini matangnya tak
berasa hambar. Dan semua ini akan terulang, dengan bahan baku dan bumbu
penyedap yang berasal dari tempat yang berbeda, tapi tidak dengan kualinya.
Terima
kasih atas kepercayaan dan kerjasamanya selama 15 yang lalu, mari kita songsong
kepengurusan baru dengan jiwa yang sehat tanpa dibuat-buat, kuat tanpa harus
berkarat, serta solid tanpa musti berkelit-kelit. Terima kasih juga untuk
KEADILAN yang telah mengajari kami tentang profesionalisme, pergerakan, juga arti
kekeluargaan. Satu pelajaran penting yang akan kami bawa sampai kapan pun juga,
yakni tentang beraneka ragamnya sayur di kebun akan terasa lebih nikmat ketika
dimasak matang dengan bumbu yang pas, api cukup, dan tungku yang proporsional.
Jika esok
harus lebih baik dari sekarang: rawatlah kebun sayur, perhatikan komposisi
bumbu dan pertahankan nyala api, agar tungku KEADILAN tetap menghasilkan sumber
daya manusia dan produk-produk sesuai dengan yang kita cita-citakan. Kini
sepenuhnya KEADILAN telah berada di pundak kawan-kawan, tak akan ada yang mati
di sini, mungkin hanya sedikit menepi. Seperti bait terakhir puisi Sebuah Tanya
milik Gie:
Manisku, aku akan berjalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
Idealisme
bukan hanya sekedar perkataan dan tulisan di pakaian, tapi juga tindakan dan
kelakuan. Percuma saja jika mulut gagah tapi komitmen payah. Memelihara kemalasan,
ujung-ujungnya cari alasan. Lihat Rumah Kaca halaman 409 milik Pram, kurang
lebih begini bunyinya: Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak
terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi
yang tahu benar akan tujuan hidupnya. Kawan, baca tetralogi sekali lagi!
Sekarang
adalah waktu dimana aku sudah berada di ujung masa kuliah. Melahirkan gelisah,
takut menentukan arah, meski pasrah hanya akan berujung kalah.
SELASA
DINI hari tanggal
ketiga bulan Desember. Rembulan sembunyi di balik mendung, burung peliharaan
menekuk kepala dalam kandang. Sejam yang lalu ayam tetangga berkokok
berkali-kali. Kini suara jangkrik mulai berisik, meski muadzin sedang
mengumandangkan adzan Subuh semerdu mungkin.
Aku masih terjaga, sepertinya
mata ingin melihat fajar yang sebentar lagi tiba. Kantuk yang sedari tengah
malam tadi terasa, kini sudah lenyap. Pikiran yang mustinya diistirahatkan,
dikecualikan untuk mengusir kegundahan. Sebuah aplikasi di komputer lipat
menjadi sarana untuk bercerita, Cerita ini mudah dimengerti oleh orang yang
mudah paham, namun bukan konsumsi untuk kalian yang tak pernah mau tahu apa
yang sedang orang lain lakukan. Mungkin begini awalnya:
Setelah pindahnya tali toga di
kepala, satu per satu dari mereka mulai angkat kaki, namun entah mengapa aku merasa
masih harus tetap berdiri di posisi ini. Lalu komentar selalu datang bertubi,
dari kanan juga kiri, dan hampir semua tak paham dengan penjelasan yang memang
sulit dimengerti.
Ini bukan tentang gengsi atau
eksistensi, tapi terlalu berlebihan jika dikatakan tentang isi hati, takutnya
dibilang sok suci atau sok punya komitmen tinggi. Meski pada nyatanya, hidup
hanyalah mampir sok-sok’an semata. Kita pun tinggal pilih mau jadi sok apa,
karena tulus yang katanya berasal dari hati itu juga sulit diukur, terlebih ketika
semua bisa dibungkus dengan kepalsuan.
Kurang dari dua minggu lagi,
semua akan berakhir. Bukan lepas, hanya sedikit berubah. Baru dua bulan setelah
bulan kedua tahun depan semua akan benar-benar hilang, lalu jadi kenangan. Ya,
sulit dimengerti bukan? Baiknya anda sudahi saja membaca cerita ini.
Hari pertama Desember kemarin
membuatku merasa terharu, ada kejadian dimana aku merasa bangga menjadi bagian
dari kalian, dan begitu takut untuk kehilangan. Mungkin ini berlebihan, tapi
jujur itu yang benar-benar aku rasakan. Walaupun aku tahu ini tak lebih dari
sekedar melankolia, dramatisasi, dan konsekuensi dari berpikir dengan perasaan.
Aku pernah merasa tersesat di
sini, sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku sedang tersesat di jalan yang
benar dan masuk akal. Semua berjalan begitu saja, cepat sekali, dan lagi-lagi
sulit dimengerti. Inilah cerita yang tak bisa bercerita selama empat setengah
tahun ini, dan harus ku akhiri di sini karena tak semua layak untuk
diceritakan, juga aku tak mumpuni untuk menceritakan.
Terima kasih untuk kepercayaan
selama ini, aku berhutang untuk semua. Maaf bila aku tak bisa menjadi lilin
ketika gelap, karena aku percaya kegelapan akan melahirkan matahari: selalu
memberi tak harap kembali.
Langit mulai memerah, kokok
ayam bersahutan di pekarangan. Suara air yang beradu dengan gayung dan badan
manusia sudah terdengar di sana-sini. Selamat beraktivitas. (*)
“Indonesia
adalah bagian dari desa saya – Emha Ainun Najib”
AKU
TAK TAHU, apakah masih relevan di hari pembacaan karya pada sore
hari ini, tetap
mengambil tema kampung halaman, apalagi jika hasil tulisan kita tak lebih dari sekedar buku diary.
Maaf, bagiku alangkah baiknya kalian simpan
sebagai catatan pribadi, dan membacanya sendiri sebelum tidur nanti. Belum
lagi, meskipun aku bukan dukun, perkenankan
aku mencoba sedikit menebak: sebagian besar di antara kita pastibaru menulis barang satu atau dua hari yang
lalu, bahkan hari ini.
Dan aku juga tak paham,
mengapa pihak penyelenggara tetap mempertahankan tema yang pada dasarnya—jika
sesuai jadwal—akan dibacakan pada jauh-jauh hari sebelum sekarang? Malas berpikir, sudah berpikir tapi tak
ada ide atau kah memang ini pilihan terbaik, jujur aku belum menemukan
jawabnya.
Baiklah, acuhkan sejenak dua
paragraf di atas, karena mungkin sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan
judul dan lead, tapi entah mengapa aku merasa perlu untuk menuliskannya sebagai
pembuka tulisan, mohon dimaklumi.
Sekarang mari kita bincangkan tentang sesuatu yang telah
menjadi tema.
Bicara
kampung halaman,bicara
tentang polosnya masa
kecil dan sejuta kenangan.Tak peduli manis, asam, bahkan pahit sekalipun.
Semakin beranjak dewasa, otak kita semakin didikte oleh prestige dan kemauan pasar, kecuali bagi yang tidak, dan persetan, itu urusan pribadi masing-masing.
Aku
membaca tulisan ini di hadapan beberapa mahasiswa perantau, ada kalanya
kita—karena aku juga mahasiswa rantau—akandipaksa kembali ke kota asal, entah sebentar atau
pada suatu saat nanti akan tetap di sana sampai
menua, kemudian tutup usia.
Ketika pulang, takkan kita dapati sesuatu yang
benar-benar sama seperti sedia kala, pasti ada sesuatu yang berubah, berbeda,
bahkan tiada. Lalu, seberapa penting kau memilikinya?
Puisi Emha Ainun Najib dengan
judul Antara Tiga Kota pun pasti berbanding terbalik dengan kondisi sekarang
yang dulu pernah ditujukkan untuk Yogyakarta. Ia pernah menulis begini:
Di Yogya aku lelap tertidur
Angin di sisiku mendengkur
Seluruh kota pun bagai dalam kubur
Pohon-pohon semua mengantuk
Di sini kamu harus belajar berlatih
Tetap hidup sambil mengantuk
Bagi mereka yang pernah muda
sejaman dengan Emha Ainun Najib, sudah pasti akan mengamini puisi indah di
atas. Tapi masihkah mereka setuju ketika pada detik ini juga, mereka dihadirkan
di Yogyakarta yang benar-benar sedang dilanda tsunami pembangunan tapi minus
perencanaan dan pengendalian serta akan
berdampak pada mengikisnya
identitas secara terencana dan laten? Mungkin puisi Emha akan sedikit berubah, berlanjut dengan pelintiran
seperti ini:
Jakarta (Yogyakarta) menghardik
nasibku
Melecut menghantam pundakku
Tiada ruang bagi diamku
Matahari memelototiku
Bising suaranya mencampakkanku
Jatuh bergelut debu
Yogya kini, sedang menuju
pertumbuhan ekonomi yang hanya didasari pada ambisi investor—yang kebanyakan
bukan warga asli Yogya—dan antisipasi pasar, bukan kebutuhan riil kota pelajar.
Aku memang tak lebih dari pendatang, tapi aku tetap tak rela jika Yogyakarta
berubah dan sedikit demi sedikit luntur
keistimewaannya. Lalu seberapa pentingkah kau memilikinya?
Tapi
mengapa
Emha Ainun Najib tak menetap di Jombang? Bukankah
di sana kampung halamannya?
Mengapa pula ia lebih memilih membuat rumah singgah di Kadipiro, Yogyakarta?
Meski di satu sisi ia sering berkelana ke berbagai wilayah di nusantara? Apakah
karena di sini ia bisa hidup dengan mengantuk seperti puisi yang ia buat di
atas? Dan bukankah kini semua hampir berbanding terbalik menuju lanjutan puisi
yang membuat jatuh bergelut debu? Agh, aku
tak perlu tahu alasan apa di balik itu semua.
Satu
yang menggajal dalam hatiku, bak sobekan daging yang nylilit di sela-sela dua gigi: Akankah Yogya, kampung halaman
sekaligus denyut nadi dinamika mahasiswa di Indonesia, menjadi abu-abu dan,
terlihat seperti lahan gersang yang dulunya pernah subur, tak bisa bertahan
dari girasnya ambisi investor. Inilah
penutup Antara Tiga Kota karya Emha:
Surabaya seperti di
tengahnya
Tak tidur seperti kerbau
tua
Tak juga membelalakkan
mata
Tetapi di sana ada kasihku
Yang hilang kembangnya
Jika aku mendekatinya
Kemanakah harus ku hdapkan
muka
Agar seimbang antara tidur
dan jaga?
Emha
pernah menulis buku berjudul Indonesia adalah Bagian dari Desaku. Desa yang tak
lagi memilih siapa dan dimana keberadaannya. Dari situ ia yakin akan tercipta
negeri kesabaran, propinsi ketekunan, kabupaten kerja keras, kecamatan mandiri,
dan desa barokah kita sendiri. Dan itu semua bisa dilakukannoleh siapapun, tak
hanya Emha.
Setiap orang pasti akan
mempunyai kecintaan yang berbeda pada kampung halamannya, dan setiap orang
bebas memilih mana kampung halaman yang ia sukai dan akan ia tinggali. Tapi,
apapun yang terjadi, Indonesia akan tetap jadi bagian dari kampung halamanmu,
kampung halamanmu, dan kampung halaman kita bersama. Maaf jika tulisan ini tak sesuai dengan tema,
kesempurnaan (katanya) milik Tuhan, bukan manusia.
Agh, entahlah, tak perlu
perdebatan si sini. Bagiku kampung halaman tak lebih dari gudang nostalgia dan
tumpukkan album tua berisi trilyunan ruang rindu. Kampung halaman bagaikan
angin yang menjadi pujaan hujan, yang selalu berkata tidurlah ketika malam
mulai resah. Ia mampu bercerita tantang gunung, juga laut. Meski tak lagi
berdua saja, kampung halaman tetap akan mengingatkan pada perempuan yang pernah
dalam pelukan, meski kini tak lebih dari sisa-sisa keikhlasan yang tak
diikhlaskan. (*)
Ramadhan,
masa sebelum lebaran, bulan ketika penceramah muncul bak suara katak sehabis
hujan. Meski temanya selalu diulang, namun tak pernah ku lihat ada protes yang
datang.
SEBENARNYA
TULISAN tentang peringatan hari kemerdekaan lebih menarik hati,
mengapa tidak? Sekarang ini dan bahkan selama masa kemerdekaaan, negara selalu
memperingati kemerdekaan dengan budaya militeristik nan formal, seolah-olah 17
Agustus hanya tentang mengibarkan dan menurunkan Sang Merah Putih semata, bukan
tentang pemaknaan spiritualitas kemerdekaan. Agh, tapi tema kali ini tak ada
hubungannya dengan itu, mungkin aku tulis sendiri di lain hari.
Sepekan sebelum hari
kemerdekaan, umat muslim di pelosok negeri terlebih dahulu disibukkan dengan
perayaan hari kemenangan pasca Ramadhan. Selama sebulan itu pula, ritual-ritual
wajib maupun sunnah mereka jalankan, entah dengan ikhlas atau pakasaan bukan
urusan, bukan hak kita untuk ikut campur, biarkan hanya person dan Tuhan yang
tahu.
Selalu ada cerita saat Ramadhan,
bisa menyenangkan, tak jarang juga mengusik hati, tinggal bagaimana perasaan
dan keadaaan dalam menjalani.
Aku menikmati separuh awal
Ramadhan di kota pelajar, lalu menghabiskannya di kampung halaman, meski
sebenarnya niatan untuk pulang tak benar-benar bulat, entah karena apa,
rasa-rasanya berlebaran di kota asal tak semenarik dua atau tiga tahun yang
lalu.
Di rumah, aku baru sadar
ternyata televisi begitu heboh dengan segala tayangan berbau Ramadhan.
Mengingat selama di perantauan aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama kawan-kawan
seperjuangan. Televisi menyajikan siaran beraneka-ragam, mulai dari iklan-iklan
makanan dan minuman yang menggoda kala siang, laporan langsung arus-mudik
menjelang lebaran, serta ceramah-ceramah dari ustad dadakan dengan intensitas
yang meningkat signifikan. Aku mengurutkan dari yang aku senangi hingga yang
tidak.
Aku beranggapan bahwa iklan
makanan dan minuman yang tiap detik menggoda kita dan warung yang tetap buka di
siang hari, justru merupakan sebenar-benarnya ujian bagi umat Islam yang sedang
berpuasa.
Aku juga sempat terusik dengan
kata-kata yang berbaris rapi di jalanan: “hormatilah orang yang berpuasa”, lucu
sekali bukan? Terlepas diterima atau tidaknya puasa mereka, bukankah orang yang
sedang berpuasa itu di mata Tuhan sudah terhormat tanpa harus dihormati dan
tanpa harus meminta penghormatan dari orang yang tidak berpuasa? Justru di
sinilah esensi tentang menahan diri harus lebih dikembangkan oleh umat Islam
secara keseluruhan, bukan setengah-setengah.
Kemudian mengapa aku suka
laporan arus-mudik? Karena laporan langsung atau bahasa bekennya live report bagiku seksi sekali, sedari
kecil aku memang suka dengan yang satu ini. Jika kau tanyakan mengapa? Maaf,
aku tak punya jawaban pasti tentang hal ini, dan aku rasa sangat tidak penting
untuk dibahas di sini.
Bagiku lebih menarik kita
bincangkan tentang meningkatnya volume ceramah di layar kaca saat bulan puasa,
bukan begitu, bukan?
Pernah dalam suatu sahur,
sebuah stasiun televisi swasta menayangkan kompetisi da’i. Bukannya senang, aku
justru sedikit mengernyitkan dahi. Pesan yang disampaikan begitu datar, tak
terlalu sampai ke hati, yang dipentingkan hanya penampilan dan pembawaan diri,
bagiku isinya jauh panggang dari api, materinya kaku sekali, seakan-akan hanya
ada agama Islam di muka bumi ini. Mungkin iya seperti itu yang terjadi, atau
bisa saja aku yang terlalu kemaki.
Sebenarnya aku tak terlalu
mempermasalahkan isi dan apa yang dibawakan oleh para da’i, hanya saja ada
sebuah pertanyaan kecil yang mengganjal hati: pantaskah dakwah dijadikan
kompetisi? Bila iya, wajar saja kini muncul banyak penceramah yang komersial
nan eksis bak artis di televisi, begitu miris menyayat hati.
Ramadhan kemarin, tiap kali
mendengarkan ceramah keagamaan—entah di masjid, televisi, atau forum keagamaan—aku
lebih banyak mendengar tentang azab, kutukan, serta hal-hal menakutkan yang
akan datang dari Tuhan suatu ketika nanti jika aku tak menjalankan perintah-Nya.
Tuhan digambarkan begitu angkuh dan gila hormat, seperti kebanyakan raja
nusantara pada jamannya. Padahal, bukankah Tuhannya orang Islam itu Rahman-Rahim, pengasih dan penyayang?
Lalu kenapa yang ditonjolkan selalu sisi kemurkaannya? Apakah umat Islam
sebegitu terpaksanya memeluk Islam, sehingga harus diintimidasi dengan bahasa
yang sedemikian rupa agar mau menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya?
Aku jadi ingat, perbedaan
perkataan Rama Cluring dan Liem Mo Han pada Wiranggaleng dalam Arus Balik karya
Pramoedya Ananta Toer. Pengetahuan dari Rama Cluring masuk dengan begitu binal
menjompak-jompak, sehingga kebanyakan penduduk Awis Krambil geram dengannya,
sementara pengetahuan yang datang dari Liem Mo Han begitu tenang dan
seakan-akan tak terjadi apa-apa, maka masuklah pengetahuan itu dalam hati
Wiranggaleng.
Mungkin bukan sebuah perbandingan
yang mudah dipahami, namun intinya aku lebih tertarik dengan dakwah yang lebih
mengedepankan tentang bagaimana umat Islam beribadah dengan ikhlas karena penuh
cinta, dan kasih sayang kepada Tuhan, bukan karena takut pada Tuhan.
Aku bukannya ingin menyangkal
tentang azab dan kemurkaan Tuhan, aku hanya ingin para penceramah memposisikan
cinta dan kasih sayang kepada Tuhan pada garda terdepan, sehingga umat Islam
menjalankan ibadah tanpa rasa takut, melainkan rasa cinta dan kasih sayang pada
Tuhannya.
Tuhanku Maha Pengasih dan
Penyayang. Maka, Tuhanku adalah destinasi yang tepat sebagai sandaran hati,
sampai nanti sampai mati. Tuhanku merupakan tujuan yang tidak salah untuk
menuruti permintaan hati, sampai nanti sampai mati. (*)
“Sorry, Bro. Aku telat,” kata yang sering terucap ketika terlambat.
Dalam segi apapun, keterlambatan mulai jadi hal yang lumrah. Semua bisa jadi
korban, tapi tak menutup kemungkinan, semua juga bisa jadi pelaku keterlambatan.
Awas, kawan! Virus terlambat bisa menyerang otak kita tepat pada waktunya, atau
justru lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Yang jelas, virus itu takkan
datang telat meskipun namanya virus terlambat.
Bukannya ingin menyalahkan,
tapi semua keterlambatan berpangkal dari waktu. Waktu memang hebat, bisa jadi
patokan setiap umat. Secara tidak sadar, kita tunduk padanya. Sesuatu yang tak
bisa terulangi lagi, namun kenapa musti ada kata telat jika memang waktu hanya
datang sekali? Jangan jawab tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena dangdut
sedang tidak diputar.
Bayangkan jika tak ada
waktu—lebih-lebih waktu yang telah dipastikan—keterlambatan pasti takkan
datang. Namun, pantaskah kita salahkan waktu? Yang kehadirannya justru lebih
memberikan kepastian. Coba renungkan, bagaimana kita bisa merayakan tahun baru
jika tiada waktu? Lalu bisakah kita menentukan kapan puasa dan kapan lebaran
jika waktu tak hadir membantu.
Bandung Bondowoso pernah kalah
oleh waktu, ia diberi waktu semalam untuk membuat seribu candi, sebagai syarat
mempersunting Roro Jonggrang. Namun melihat kecurangan Bandung
Bondowoso—meminta bantuan mahkluk halus—Roro Jonggrang pun tak habis akal, ia
bersama para koleganya membuat siasat seolah-olah pagi sudah datang menjelang.
Bandung Bondowoso telat, ia pun gagal dalam misinya membuat seribu candi.
Ternyata, waktu bisa dikelabuhi. Namun sejauhmana kita bisa mengelabuhi waktu? Dengan
siasat seperti Roro Jonggrang? Jangan salah, ia berbuat demikian karena Bandung
Bondowoso curang, selalu ada api ketika ada asap, tak mungkin tidak.
Meskipun bisa dikelabuhi, tapi
apakah kita bisa merubah waktu? Ia akan tetap bergulir, tanpa perlu kita
percepat atau perlambat. Lalu siapa yang harus disalahkan ketika kita terlambat
karena waktu? Masihkah sang waktu jadi pesakitan? Sungguh, ia teramat kasihan.
Telat beserta alasannya
bagaikan lokomotif dengan dua belas gerbong—rangkaian maksimal kereta api. Bukan
rahasia lagi jika tak seluruh gerbong diisi oleh penumpang bertiket, sebut saja
penumpang gelap. Juga dengan telat, tak seluruhnya diikuti alasan yang logis
dan bertanggung jawab, ada juga alasan yang dibuat-buat bak penumpang gelap
tanpa tiket.
Telat adalah lokomotif, alasan
logis dan bertanggungjawab adalah penumpang bertiket, sementara alasan dibuat-buat
karena kemalesan adalah penumpang gelap yang harus diturunkan di stasiun
berikutnya. Ketidakhadiran adalah mereka yang datang setelah kereta
diberangkatkan, benar-benar ditinggal. Jangan sampai kita diturunkan di stasiun
yang bukan menjadi tujuan.
Sampai kapan kita akan selalu
terlambat? Jangan lagi kau tanyakan pada rumput yang bergoyang, karena selain
dangdut tak sedang diputar, ia juga sedang menikmati air hujan ketika kemarau
sudah datang, sebuah kelangkaan, jangan ganggu sang rumput karena keterlambatan.
Apalagi mencarikambing hitam, karena mereka telah membeli pemutih, baik krim
m’alam atau krim siang.
Telat itu bukan siapa-siapa,
bukan kamu, kalian, atau mereka. Telat itu aku, yang selalu telat untuk mengerti
keterlambatan itu sendiri. Benar-benar telat, atau cuma dibuat-buat; kita
pelaku kita yang tahu.
Jangan biarkan tubuhmu membiru
tragis karena telat, hingga menjadikan kau dan aku menuju ruang hampa.
Keterlambatan ini, suatu saat nanati akan membentuk sebuah mosi tidak percaya
di kamar gelap. Satu pesanku, jangan bakar buku agar tak banyak asap di sana.
Sampai kapan telat akan membuat hidup bagai sebuah ballerina, telat juga akan
membuatmu abnormal. (Bobby A. Andrean)
Liburan silahkan, tidak pun tak jadi soal. Karena liburan bukan
sebuah kewajiban.
Selama
Februari, pikiran Icuk diselimuti kegundahan. Masalahnya sepele, bukan karena
ia harus melewati Valentine tanpa kekasih—karena setiap tahun pun juga
demikian—tapi karena recent updates di
Blackberry Messager, time line di
Twitter dan beranda di Facebooknya selalu penuh dengan status
tentang destinasi liburan.
Bahkan yang lebih membuatnya kesal, foto-foto
narsis di lokasi liburan turut meramaikan Instagram. Pengunggahnya beragam,
mulai dari kawan hingga orang yang sama sekali tidak ia kenal. Tak cukup sampai
di situ, kuliner dan tempat perbelanjaan yang di-share ke beberapa media sosial di atas juga membuatnya semakin ngiler tak karuan.
Sedari awal bulan, Icuk sudah mulai
menyadari bahwa semua ini gara-gara smartphone
yang dibeli dengan duit pemberian orangtuanya sebulan yang lalu. Karena akses
ke media sosial tersebut selalu ia dapat dari smartphone tersebutIa tak
pernah menduga, barang yang selama ini dipamer-pamerkan ke teman kuliah berkat
kecanggihannya, kini justru jadi biang kegalauan.
Icuk memang tergolong orang yang suka
berpetualang, meskipun dengan mental dan uang yang pas-pas’an, jadi wajar jika
di waktu libur kuliah semester ganjil ini, pikirannya sedang diselimuti mendung
hitam yang tak berawan bernama liburan.
Ia tak memikirkan biaya, karena
tabungannya cukup untuk sekali liburan, bahkan ke luar negeri sekalipun.
Permasalahannya cuma satu: waktu. Di balik kata itu, terdapat sejuta alasan
yang tak memberinya banyak ruang untuk sekedar menikmati liburan. Meski
kalender akademik kampusnya jelas-jelas mengisyaratkan libur, namun sebuah
tanggungjawab besar sudah menanti Icuk jauh-jauh hari, malahan bisa dibilang komitmen Icuk untuk hal ini sudah hadir
sebelum 2013 datang.
Kegundahannya semakin menjadi-jadi
ketika Ucik—sahabat karib di kampus sekaligus kawan backpacker-an—meminta diantarkan ke terminal Giwangan untuk
melakukan ekspedisi tunggal ke tempat yang masih dirahasiakan. Biasanya mereka
berangkat berdua, namun kali ini Icuk tak bisa ikut serta karena komitmen dan
tugasnya.
“Cuk,” ucap Ucik, setibanya di terminal.
“Dua sampai tiga minggu lagi gue baru balik.”
“Emang lu mau nglancong kemana sih?”
“Kan udah gue bilang rahasia, nanti bakal
gue bikin tulisan, dan lu bisa nikmatin tulisan gue. Gue akan buktiin bukan
hanya anak sastra saja yang bisa bikin tulisan indah.”
“Okey, terserah lu aja deh, yang penting
ati-ati. Kalau udah otw pulang, lu sms aja biar gue jemput lagi di mari,” timpal
Icuk.
“Gak usah, Cuk. Gue udah banyak
ngrepotin lu, gue bisa ngojek.”
“Sorry, Sob. Bukan maksud gue gitu. Oke
deh kalau lu maksa, besok gue sms kalau udah otw Yogya. Makasih ya, Sob. Lu
emang sahabat gue yang ciamik dech.”
“Santai aja, Man. Titipin salamku untuk
semua orang yang kau temui,” titip Icuk sok formal.
Sepeninggalan Ucik, Icuk kembali
tenggelam dalam kesibukannya, tiada hari tanpa duduk melingkar untuk
menumpahkan isi otak alias pikiran bersama kawan-kawan seperjuangan. Tapi entah
kenapa ia menikmatinya, hari-hari di bulan kedua 2013 ia lalui dengan senang,
meski tanpa liburan. Meminjam judul lagu Sheila on 7, Icuk menilai apa yang
dilakukannya kini adalah sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Pada suatu Sabtu malam di pertengahan
Februari, ia memilih menyendiri, merenungi tentang segala apa yang terjadi.
Kuliahnya, tentang mau dibawa kemana hidupnya, dan tentang siapa yang akan
berada di sampingnya kelak.
“Hey gelap malam, apakah orang-orang
hebat itu masa mudanya hanya berleha-leha?” tanya Icuk pada malam. “Agh, tak
usah kau jawab pun aku sudah tahu jawabannya, pasti tidak kan?” jawabnya
sendiri sekaligus menimbulkan pertanyaan baru. Bukan tanpa alasan ia bertanya
pada malam, karena malam selalu tahu siapa yang masih terjaga dan siapa yang
sudah terlena karena gelapnya.
Orang yang melihat akan mengatakan ia
gila, karena sedari tadi ia bergumam sendiri, bertanya tapi selalu memberi
jawaban sendiri, kadang memaki kadang memuji. “Kau malam, selalu mengajariku
tentang kehidupan. Terlebih gelapmu, sudah menjadi barang tentu jika kegelapanmu
akan selalu melahirkan Matahari setelah subuh nanti. Uyyyyeeeeee…….!” ucap Icuk
setengah berteriak seakan-akan ingin menggantikan tugas ayam jantan berkokok.
Dalam renungannya, ia mulai sadar jika
Yogyakarta bukanlah Jakarta—kota asal dan tempat Icuk dibesarkan. Ibukota
mewajibkan manusianya untuk berlibur ketika liburan, setelah menjadi robot saat
hari biasa. Wajar jika mereka menempatkan berlibur saat liburan adalah suatu
keniscayaan. Sekarang ia sedang di Yogya, di kota pelajar sekaligus budaya ini
liburan hanya untuk mereka yang perlu, karena baginya “everyday is holiday in Yogya City”. “Jogja memang berhati nyaman,”
gumamnya pelan.
Hampir tak ia sadari tengah malam telah
lewat jauh sekali, kopi-susu instan dan sebungkus jagung goreng sudah tak
bersisa, ia segera mangakhiri persetubuhannya dengan kegelapan. “Hidup ini
lucu, kita diberi kehidupan tapi suatu saat nanti kehidupan ini akan dicabut
kembali,” tulisnya pada buku catatan harian yang baru ia beli sore tadi. Entah
apa yang sedang dipikirkannya, hingga ia tulis kalimat itu.
***
Menjelang
tengah malam ketika Maret mulai menyambut, cahaya purnama dan angin musim
penghujan menemani Icuk yang tengah mencoba memejamkan mata. “Tilululut…tilululut…tilulululut…,”
telepon genggam Icuk berdering disertai getar berkali-kali. Ia sedikit
terkejut, hingga akhirnya ia mengerutkan dahi ketika mulai membaca pesan
singkat yang baru saja masuk. “Kurang ajar ini si Ucik, malam-malam gini pamer
ke gue,” gerutunya kesal. Ternyata Ucik memberitakan bahwa besok hari terakhir
ekspedisinya di Pulau Dewata, karena ia harus melanjutkan perjalanan ke Lombok.
Tapi kesal Icuk tak sampai hati, karena
ia tahu benar sifat Ucik: bukan tukang pamer. Ucik hanya sekedar meminta doa
restu seperti yang tertulis di akhir pesan singkatnya. “Hati-hati, kawan. Jaga
dirimu baik-baik, suatu saat kita pasti akan backpakeran bareng lagi. Jangan
lupa titipanku: titip salam untuk semua yang kau temui di sana,” balas Icuk
saat itu juga.
Icuk kembali berbaring di kasur
tipisnya, matanya menerawang ke langit-langit dan hanya sesekali berkedip.
Seperti penjaga gawang yang baru saja kebobolan. “Liburmu kali ini bukan
liburku, kawan,” ucapnya pelan seperti tak bersuara. Lambat laun matanya mulai
sayu, lalu terpejam, kini mulutnya yang terbuka, kemudian suara dengkur mulai memenuhi
kamar kos-nya. (Bobby A. Andrean/Awal
Tahun 2013)
Supri,
40 tahun, setelah gagal jadi TNI, kini ia bertani
“KARENA
pekerjaan yang lain nggak bisa,” jawabnya padaku tentang alasan kenapa
memilih jadi petani. “Saya dulu pengennya jadi tentara, pernah mendaftar
setelah lulus SMA, tapi gak masuk.”
Uniknya, sampai sekarang pun Supri tak
tahu kenapa dulu pernah punya cita-cita demikian. “Gak tahu, pengen aja,” katanya,
lagi. Adanya dukungan saudara sedikit-banyak juga turut memperngaruhi. “Udah
daftarin sana,”
ujar Supri menirukan suruhan saudaranya dengan tatapan jauh, seperti sedang
mengenang cita-cita yang hilang.
Supri gagal di-tes ketiga pada
pendaftaran pertama. Padahal, ia sudah “dititipkan” pada seorang perwira.
Dengar-dengar uang “titipan”-nya kurang, kalah besar dengan pesaingnya. “Yang
kedua karena umurnya udah lewat,”
ujarnya.
Nasib Supri tak semujur adik kandungnya,
tapi aku lupa tak sempat menanyakan nama. Si adik kini jadi anggota TNI,
berdinas di Malang,
Jawa Timur. “Dulu dia masuk bintara, habisnya Rp 10juta,” kata Supri.
Aku tertegun, ternyata kebiasaan suap
sudah ada sejak dulu. “Sepuluh juta, uang ‘sogokan’ yang sangat murah dalam
kondisi kekinian, tapi, bisa dipastikan sangat mahal pada tahun 80’an. Sepuluh
juta saat itu bisa jadi seratus juta untuk saat ini, bahkan lebih,” kataku
dalam hati.
Setelah harapan jadi prajurit kandas,
Supri mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan kontraktor di Jakarta: Duta Graha Indah. Ia bekerja dari tahun
1981 sampai 1996, kala ia masih bujangan. Di tahun 1997, Supri meminang Sutini,
gadis yang ia kenal di perantauan.
Setelah Duta Graha Indah hampir
bangkrut, ia memutuskan untuk resign,
lalu membawa Sutini pulang ke kampung halaman. Inilah awal mula Supri dan
Sutini memulai kehidupan baru.
*
Sore tadi, mesin Jepang membawaku
melintasi desa Ngipik Sari, Kaliurang. Jalannya berkelok dan menanjak, pohon
tinggi-besar membuat desa ini teduh. Di kanan-kiri, banyak penginapan kecil
yang menyewakan kamar, tak aneh jika papan nama bergantungan dimana-mana.
Di penghujung desa, aspal hitam berubah
jadi batu yang tertata, bau kotoran sapi samar-samar mulai terasa, tapi sayang
kicauan burung liar nyaris tiada.
Di batas jalan itulah ladang Supri
berada, ku lihat ia hampir tenggelam di antara riuhnya ilalang, ia sedang
memancang—menancapkan potongan bambu—di sebidang tanah yang sudah ia beri tanda
seutas tali raffia. Supri hendak mempersiapkan media untuk menanam Sengon.
Aku tertarik untuk berbicara dengannya,
dan ia menyetujui ajakanku. Kami mulai berjabat tangan, bertukar sapa lalu
mengenalkan nama. Itulah awal mulanya aku tahu ia petani yang pernah punya
impian jadi tentara.
Sembari beristirahat di samping ladang, memandangi
lahan garapan yang hampir tak begitu luas, Supri meratapi dua kegagalannya jadi
tentara. Padahal beberapa saat tadi, kelesuan senja sehabis hujan tak sedikit
pun menyurutkan niatnya untuk tetap mengolah lahan. Kedatanganku membuatnya
mengenang masa pahit itu lagi.
Kepalanya oval, bibir tebal, dan
perawakan tak terlalu kekar, senyum lebar serta aksen Jawa yang sangat kental. Supri
memakai topi hitam, selaras dengan kulitnya. Baju dan celana berwarna putih,
kali ini sangat kontras dengan warna tubuhnya. Fisiknya sangatpetani, bukan tentara, karena tak ada sedikit pun tersirat
bodi pasukan.
Sampai sekarang, ia masih mendambakan
jadi seorang pegawai. Alasannya simpel, hasil dari apa yang ia kerjakan sebagai
petani, belum cukup untuk membiayai hidup keluarga. “Sebenarnya kurang, tapi
karena adanya ini, ya dicukup-cukupkan,” kata Supri. Ia satu-satunya tulang
punggung keluarga, istrinya hanya seorang ibu rumah tangga, yang kadang kala
juga ikut bekerja di ladang.
*
Menjadi petani memang bukan perkara
mudah, apalagi di Indonesia.
Seorang petani harus berkutat dengan berbagai permasalahan. Dari majalah
Keadilan edisi I/XXXVII/2012, ada sebuah fakta yang menunjukkan bahwa saat ini
arah kebijakan pemerintah tak melindungi Supri dan kaum senasibnya.
Kesejahteraan petani terabaikan, mereka tak berdaya menghadapi permainan
pemodal.
Henry Saragih, ketua Serikat Petani Indonesia
juga mengatakan bahwa pemerintah memang memperhatikan petani, tapi dengan cara
pikir lain. Yang diperhatikan bukan petani-petani kecil seperti Supri, tapi
justru perusahaan-perusahaan besar.
“Akankah
suatu saat nanti petani Indonesia
hanya akan menjadi legenda bagi anak dan cucu kita?” dosen hukum Agraria-ku
pernah bertanya seperti itu, dan sampai aku belum bisa menjawabnya. Tapi jika
kebijakan masih tak berpihak pada petani, cepat atau lambat, kata-kata di atas
akan terjawab dengan sendirinya.
Menurut Ahmad Yak’ub, Ketua Departemen
Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia, dalam artikelnya berjudul Reforma
Agraria, menjelaskan bahwa, ketidakadilan mengacu pada suatu kondisi dimana
kekayaan agraria telah terkonsentrasi pada segelintir pihak saja.
Sayang, Supri tak termasuk dari
segelintir pihak tersebut. Jangankan untuk untung, untuk balik modal saja ia
sudah ngos-ngosan. Ia butuh banyak
uang untuk sejahtera.Ya uang, barang satu itu memang sakti: walaupun uang bukan
segala-galanya, tapi tanpa uang Supri tak mampu berbuat apa-apa. Namun Supri
sadar, jika suatu saat nanti sungai tak lagi mengalir, ikan juga takkan lagi
berenang dengan riang. Jika semua hutan telah habis, ekosistemnya hilang. Manusia
baru akan sadar jika uang tak bisa dimakan.
*
Supri mengakui dengan jujur bahwa ia tak
menyukai pekerjaannya, namun keadaan dan tanggungjawab sebagai Ayah,
mengharuskan Supri istikomah. “Sebetulnya saya juga nggak suka, karena jadi
petani itu sulit. Hasilnya nggak
tentu, tapi karena keadaan, kita punya anak, ya harus biayain anak,” keluh
Supri.
Si sulung: Ana. Sudah menginjak kelas 2
SMA, Supri mengatakan bahwa Ana bercita-cita menjadi perawat. Sedang Yoda, anak
kedua, tahun ajaran baru nanti akan masuk SMP. Putri, kakak si bungsu, baru
kelas 3 SD, sementara Angga, putra paling poncot, belum sekolah.
Begitu berat beban yang harus dipikul
Supri. Di satu sisi Supri bingung, jangankan untuk menyekolahkan anak ke
jenjang yang lebih tinggi, untuk biaya sehari-hari saja ia kewalahan. Di sisi
yang lain, ia ingin anak-anaknya tetap sekolah agar nasibnya tak seperti sang Ayah.
Supri paham, ia harus tetap mensyukuri
apapun yang terjadi. Ia cukup tahu diri untuk menghapus cita-citanya sebagai
tentara di masa remaja. Kini, walaupun sebagai petani, ia harus mampu membawa
keluarganya ke arah yang lebih baik.
Bagi Supri, petani sulit sejahtera,
anaknya harus jadi pegawai. “Kalau bisa ya harus jadi pegawai semua, nggak
mungkin anak disekolahin nanti cuma disuruh nyangkul di sawah,” katanya penuh
harap.
Aku galau mendengar kata-katanya
barusan. Jika petani saja berharap demikian, maka pertanyaan dosen Agraria-ku
di atas tadi sudah terjawab: petani benar-benar akan jadi legenda bagi anak dan
cucu kita nanti, petani tak sejahtera.
“Kalau bisa (kehidupan) saya harus lebih baik dari sekarang,”
harap Supri.
Ia Supri petani, bukan Supri TNI. Ia
tinggal di dusun Ngipik Sari, RT 02/XII, Hargo Binangun, Pakem, Sleman, bukan
penghuni tangsi atau asrama TNI. Senjata di tangan Supri bukan SS-1, SS-2 atau
AK-47, melainkan cangkul, sabit, caping dan semangat yang terus berkobar di
dalam dada. Supri juga sedang berperang, ia berperang dengan keadaan dan harus
berdamai ketika waktunya datang. (*)
Kemarin itu akhir bulan, akhir tahun, dan akhir kisah cinta kita berdua.
Sore itu langit nampak murung, seakan-akan ingin memperlihatkan
rasa sedihnya ketika harus meninggalkan 2012. Dari kawasan Jalan Taman Siswa
158, aku beserta teman-teman Keadilan
bergegas ke selatan, menuju pantai Ngobaran, kami harus cepat sebelum hujan mengguyur
sepanjang perjalanan. Keberangkatan dibagi jadi 2 rombongan, kami kloter
kedua.
Kloter kami sampai di Ngobaran ketika maghrib mulai
menjelang. Begitu menginjakkan kaki di bibir pantai, aku melihat sudah banyak
tenda yang berdiri meski tak semua megah. Ku lanjutkan langkah kakiku menuju lima tenda yang
berdampingan, di sana teman-teman kloter pertama berada.
*
Selepas Isya’, kami mulai memanggang sesuatu yang bisa
dimakan. Setelah semua beres, waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Santap
saji terasa istimewa sekali, walau hanya ada sambel, sedikit kuah dan secuil
lauk-pauk. Lebih-lebih dengan adanya lima biji pete bakar, untuk hidangan yang
satu ini, hanya aku dan tiga temanku yang doyan.
Lainnya memang sengaja tak doyan atau
cuma gengsi, aku tak tahu dan itu bukan urusanku. Tak ada yang berpiring dan
makan di tempat seadanya itu sudah biasa. Bahkan ada yang berdiri karena tak
kebagian tempat untuk duduk.
*
Gerimis tipis mulai turun, padahal waktu telah menunjukkan
pukul sembilan malam, artinya tiga jam menjelang tahun baru. Terpaksa kita
harus menunggu hujan reda, tak enak sekali rasanya. Saat-saat seperti ini
justru digunakan teman-teman untuk bermain kartu atau hanya saling melempar
canda di gubug kecil belakang tenda, karena memang bahagia itu harus dibuat, bukan dicari.
Sedang aku lebih memilih berdiam diri di tenda yang paling
dekat dengan air laut. Bukan, bukan untuk menggalau sendu. Selain mengawasi
ancaman pasang air laut yang hampir menyentuh tenda itu, aku juga cuma sekedar
merenungi dan meratapi apa yang setahun lalu terjadi. Semacam meracik resolusi
untuk tahun depan, walau aku tak seratus persen paham tentang apa itu resolusi.
Beberapa saat kemudian, datang lalu duduk di sampingku
seorang sahabat Keadilan, dia yang
sepertinya sedang manggalau sendu. Wajar saja, mantan terindahnya akan naik
pelaminan, tapi bukan dengan dirinya. Owh, aku bisa merasakan nyeseknya perasaan temanku itu.
Terdengar dia melantunkan sebuah puisi, aku yakin itu buatannya sendiri.
“Tenang, kawan. Jalanmu masih panjang, doakan yang terbaik untuknya,” ungkapku
dalam hati.
Temanku pergi, kini aku sendiri lagi. “Debung…,” suara
ombak menghantam karam pinggir pantai. Membuyarkan lamunan yang sedari tadi
pergi kesana-kemari. Kadang melambung tinggi menyentuh mendung, tak jarang juga
menyelam menuju dasar laut Selatan. Sejauh apapun itu, ternyata lamunanku masih
itu-itu saja, aku sulit lupakan, bahkan tak bisa.
Tuhan, sudahi siksa ini. Aku tahu dia bukan tercipta
untukku, begitu juga sebaliknya. Hilangkan rasa itu, ganti dengan rasa lainnya.
Agh, disaat-saat seperti ini masih saja aku meracau dalam kegundahan yang tak
sewajarnya aku pikirkan. Maaf, maaf beribu-ribu maaf untuk ketidakjelasan ini.
*
Seorang teman lain menghampiri tenda. “Jam berapa sekarang?
Ayo siap-siap buat api unggun,” ajaknya dengan semangat. Jam di hp-ku menunjukkan pukul sebelas malam,
benar juga ajakannya, kita memang harus siap-siap. Tapi bukankah di luar masih
gerimis, bahkan terkadang lebih dari gerimis: hujan.
Di samping hujan, minyak tanah yang tersisa sudah tak
banyak lagi, selain memang bawanya sedikit, juga banyak terkuras untuk membuat
panggangan lauk sore tadi. Kami belum lihai membuat api unggun tanpa minyak
tanah. Aku sempat panik, jangan-jangan takkan ada api unggun di malam
pergantian tahun nanti? Walaupun itu bukan esensi.
Entah bagaimana caranya, aku juga sedikit lupa. Pokoknya
tak ada yang berdiam diri diantara kami, beberapa teman lelaki berupaya
menyalakan api, lelaki lainnya dan semua perempuan sepertinya sedang berdoa agar
api bisa menyala. Dan benar saja, sedikit demi sedikit akhirnya api berkobar
dengan gagahnya.
Ia tetap berkobar meski hujan mencoba memadamkannya. Semua
karena usaha teman-teman untuk berusaha menyalakannya, terlebih komitmen untuk tetap menjaga nyalanya dalam hujan. Hanya ada satu kata: kalian luar biasa! Aku salut dengan usaha kalian, wahai teman-teman. Hujan tak menyurutkan
sedikit pun semangat kita untuk tetap mengobarkan api.
Dari lubuk hatiku yang paling dalam aku berharap komitmen
kita dalam menjalankan roda organisasi sama seperti komitmen kita dalam
menyalakan api unggun ini. Apapun yang terjadi nantinya, semangat kalian harus
tetap berkobar seperti api.
Besar atau kecil, kobaran api unggun dalam rintikan hujan
telah memberi pelajaran berharga dimalam tahun baru ini. Halangan dan rintangan
pasti akan datang, tapi bukan untuk dihindari, namun kita hadapi.
Kita harus berterimakasih pada Tuhan, karena telah
menciptakan alam yang memberi kita sejuta makna dan pelajaran. Kita juga harus
sadar, bahwa kita ini kecil. Selama ini kita telah jumawa dengan apa yang kita
miliki, apa yang kita kuasai, apa yang kita taklukan. Tapi kuasa apa kita
terhadap alam, terhadap hujan? Terhadap tetesan air yang kecil? Kita tak mampu
menghentikannya, kawan.
Seperti yang pernah aku baca di Misteri Soliter karangan
Jostein Garder, bahwa jika dunia ini adalah sebuah tipuan sulap, maka harus ada
seorang tukang sulap agung di balik itu semua. Siapa pesulap agungnya? Setiap
orang pasti punya jawaban berbeda. Tak perlu seragam untuk sebuah kepercayaan.
Setelah api berkobar besar, kami semua melingkar, ada
beberapa teman yang beresolusi untuk masa depan, paling tidak untuk setahun
mendatang. Setelahnya kami semua mendongak ke atas, merenungi ada apa di balik
hitam Sang Angkasa. Lalu kami mulai berhitung mundur bersama-sama, kembang api
mengudara ketika hitungan sampai pada angkat satu. Walau hanya sedikit, angkasa
kini berwarna-warni. Walau hanya sekejap, langit kini gemerlap.
Ada sedikit kekecewaan yang aku rasakan, seorang teman yang
sedari awal paling berjasa terhadap jalannya acara ini, justru harus terbaring
di dalam tenda karena sakit kepala yang dideranya. Terpaksa, ia tak melewati
momen renungan bersama yang lainnya.
*
Menjelang dini hari, aku duduk menghadap laut berteman
segelas kopi susu instan yang panas. Hujan dan ombak berbaur meski beda unsur, tepat
seperti bersatunya rasa lelah dan kantuk yang tak dibarengi dengan terpejamnya
mata. Aku ingat saat itu angin berbisik lirih padaku, selirih teriakan cintaku dulu
yang bertaut jarak dan waktu.
“Ombak titip salam buat seseorang yang sampai saat ini
masih ada di hatimu. Walaupun sekarang bukan hanya jauh di mata, namun juga jauh di hati,” bisiknya
lembut.
Aku tertegun, tak tahu harus menjawab seperti apa.
“Terima kasih angin, salammu akan ku sampaikan jika aku
mampu,” jawabku tak kalah lirih.
Aku rasai tubuh ini butuh istirahat, merebahkan tubuh dalam
tenda tak ada salahnya. Entah saat itu waktu menunjukkan pukul berapa, yang
jelas aku rindu padanya.
Setelah bangun tidur nanti dan ku akhiri tulisan ini, ada
satu kalimat yang ingin kusampaikan padamu:“Hey
kamu, iya kamu yang ada di pesisir pantai utara Jawa. Semalam angin berbisik
padaku, dia bilang ombak pantai selatan titip salam buat kamu.” Namun entah hanya dalam mimpi atau langsung
aku juga tak tahu, sekarang yang penting aku tahu apa yang harus ku tuju. (*)